Thursday, November 8, 2012

Sejarah Penulisan Al-Qur’an


Proses Penulisan Al-Qur’an pada Masa Nabi
            Kerinduan nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Tiap-tiap nabi menerima ayat-ayat yang diturunkan, nabi lalu membacanya dihadapan sahabat serta menyuruh para kuttab (penulis wahyu) menulisnya. Nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Qur’an pada masa nabi sangat sederhana. Para sahabat menggunakan alat tulis sederhana seperti pada kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma, batu-batu, dan lontaran kayu.
            Kegiatan dalam menulis Al-Qur’an pada masa nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. Kegiatannya itu didasarkan kepada sebuah hadits nabi, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim yang artinya:
“janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.”(H.R Muslim)
Setiap telah cukup se-surat turunnya, nabi memberi nama kepada surat itu, sebagai tanda yang membedakan surat itu dengan surat yang lain. Nabi suruh letakkan “basmalah” di permulaan surat yang baru atau di akhir surat yang terdahulu letaknya. Demikian pula di tiap-tiap turun ayat, nabi terangkan tempat meletakkan ayat-ayat itu. Sedemikianlah nabi perbuat sehingga sempurnalah Al Qur’an itu diturunkan dalam tempo kurang lebih 23 tahun (22 tahun 2 bulan 22 hari).           
            Di antara faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa nabi adalah:
  1. Mem-back up hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
  2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hapalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa nabi, Al-Qur’an tidak ditulis ditempat tertentu.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa karakteristik penulisan Al-Qur’an pada masa nabi adalah tidak ditulis pada satu tempat saja, melainkan pada tempat yang terpisah-pisah. Hal ini tampaknya bertolak dari dua alasan berikut:
  1. Proses penurunan Al-Qur’an masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang turun belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun terdahulu.
  2. Menertibkan ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Oleh karena itu, terkadang ayat atau surat yang turun belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu.

Penulisan/penghimpunan Al-Qur’an pada Periode Khalifah Abu Bakar
            Setelah Nabi SAW wafat dan Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, terjadilah gerakan Musailimah al-Kadzdzab. Dia mengembangkan khurafatnya dan kebohongan-kebohongannya. Diapun mengaku dirinya nabi dan dia dapat mempengaruhi Banu Hanifah dari penduduk Yamamah lalu mereka menjadi murtad. Gerakan ini segera ditindak oleh Abu Bakar dengan mengirimkan pasukan tentara di bawah pimpinan Khalid bin al-Walid yang terdiri dari 4000 pengendara kuda, terjadilah clash fisik di Yamamah pada tahun 12 H yang menimbulkan korban yang tidak sedikit dikalangan pasukan islam terutama para sahabat yang gugur syahid. Di antara sahabat yang gugur itu adalah Zaid ibnul Khattab, saudara Umar. Selain daripada itu syahid pula 700 penghafal Al-Qur’an. Setelah umat islam mengeraskan tekanannya, pertolongan Allah pun datang, barulah tentara Musailamah hancur dan lari. Umat islam mengejar meraka dan mengurung tentara musuh itu dalam suatu kebun kurma. Al Barra’ ibn Malikmenaiki tembok kebun dan menjatuhkan dirinya ke dalam benteng, lalu membuka pintu. Setelah tentara islam dapat masuk ke dalam, barulah Musailamah dan kawan-kawannya dapat dibunuh. Kebun tersebut dinamai kebun mati. Orang yang membunuh  Musailamah ini juga telah membunuh Hamzah.    
Peristiwa yang tragis itu mendorong Umar untuk menyarankan kepada khalifah agar segera dipimpin ayat-ayat Al-Qur’an dalam suhuf, karena dikhawatirkan akan kehilangan sebagaian Al-Qur’an dengan wafatrnya sebagaian para penghafalnya. Usul Umar dapat diterima oleh Abu Bakar setelah diadakan diskusi dan pertimbangan yang saksama. Kemudian khalifah memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit agar segera menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu shuhuf.
            Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini walaupun ia seorang penulis yang hafal Al-Qur’an. Ia berpegangan dua hal, yaitu:
1. ayat-ayat Al-Qur’an ditulis dihadapan Nabi yang di simpan dirumah nabi.
2. ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.
            Selain itu juga menerima tulisan dari sahabat lain dengan dua saksi. Akhirnya dengan kerja keras tim pengumpulan Al-Qur’an yang terdiri Abu Bakar sebagai pengawas, Umar sebagai pengusul, Zaid sebagai pelaksana dan para sahabat sebagai pemberi bantuan  yaitu Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Mereka berulang kali mengadakan pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka tuliskan di masa nabi. Maka dengan usaha badan ini terkumpullah Al-Qur’an di dalam shuhuf dari lembaran-lembaran kertas. Dalam pada itu, juga ada riwayat yang menerangkan, bahwa badan tersebut menulis Al-Qur’an dalam shuhuf-shuhuf yang terdiri dari kulit dan pelepah kurma. Inilah pengumpulan pertama.  
Sahifah-sahifah (yang terdiri dari 7 huruf dan masih utuh termasuk ayat-ayat yang belum dinasahkan bacaannya) yang telah dihimpun oleh Zaid lalu disimpan oleh Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Hafsah binti Umar (Hafsah adalah seorang istri nabi yang hafidz Al-Q’uran), kemudian Utsman bin Affan dan kemudian dikembalikan lagi kepada Hafsah setelah dilakukan penyalinan oleh Utsman.


 Penulisan Al-Qur’an pada Masa Masa Utsman bin Affan
Sesudah beberapa tahun berlalu dari pemerintahan Utsman timbullah usaha dari sahabat untuk meninjau kembali shuhuf-shuhuf yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit. Menurut  riwayat Bukhari dari Anas, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada waktu itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat muslim saling menyalahkan dan selanjutnya terjadi perselisihan diantara mereka
            Tata cara penulisan Al-Qur’an pada masa khalifah Utsman bin Affan ini disebut rasm Utsmani. Tata cara penulisan (rasm Utsmani) itu kemudian dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf Al-Qur’an. Sementara, Mushaf  Utsmani yaitu mushaf yang ditulis panitia empat (Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits). Utsman lalu meminjam mushaf yang tersimpan di rumah Hafsah dan memberikannya kepada panitia yang telah terbentuk.
Tugas utama panitia adalah menyalin mushaf ke dalam beberapa naskah sambil menyeragamkan dialek yang digunakan, yaitu dialek Quraisy (Al Quraisy). Al-Qur’an yang telah disusun dialek yang seragam itu disebut Mushaf Utsmani. Semuanya berjumlah lima buah. Satu mushaf disimpan di Madinah, empat mushaf  lainnya dikirimkan ke Makkah, Suriah, Basrih dan Kuffah untuk disalin dan diperbanyak. Selanjutnya khalifah Utsman memerintahkan agar mengumpulkan semua tulisan Al-Qur’an selain Mushaf Utsmani untuk dimusnahkan, hanya boleh menyalin dan memperbanyak tulisan Al-Qur’an dari mushaf yang resmi, yaitu mushaf Utsmani.
Perbedaan pendapat tentang keharusan menulis Al-Qur’an dengan menggunakan rasm utsmani dipicu oleh perbedaan mereka dalam menyikapi status rasm Al-Qur’an. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm utsmani bersifat tauqifi, yakni bukan produk budaya manusia sehingga wajib diikuti oleh siapa saja yang hendak menulis Al-Qur’an. Mereka bahkan sampai tingkat menyakralkannya. Untuk pendapat ini, mereka merujuk pada sebuah riwayat yang memberitakan bahwa Nabi pernah berpesan pada Mu’awiyyah, salah seorang sekertarisnya, “Letakkanlah tintamu, pegang erat pena baik-baik, luruskan huruf  ba’. Bedakan huruf sin,  jangan butakan huruf mim, buat bagus (tulisan) Allah,  panjangkan (tulisan) ar-Rahman dan buatlah bagus (tulisan) ar-Rahim. Lalu letakkan penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuat mu lebih ingat.”
Mereka pun mengutip pernyataan Ibnu Al-Mubarak yang berbunyi ,“Sahabat, juga lainnya, sama sekali tidak campur tangan dalam urusan Rasm Mushaf, walaupun sehelai rambut. Itu adalah ketetapan Nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seperti dalam bentuknya yang dikenal dengan menambahkan alif dan menghilangkanya lantaran rahasia yang tidak dapat dijangkau akal. Hal itu merupakan salah satu rahasia yang khusus diberikan Allah untuk kitab suci-Nya yang tidak diberikan untuk kitab samawi lainnya sebagaimana halnya susunan Al-Qur’an itu mukjizat, rasm(tulisan)-nya pun mukjizat pula. berdasarkan hadits Nabi dan pernyataan Ibnu Al-Mubarak mereka memandang bahwa rasm utsmani memiliki rahasia-rahasia yang sekaligus memperlihatkan makna-makna yang tersembunyi. Umpamanya penambahan huruf ya’ pada penulisan “aydin” pada surat (Adz-Dzariyat :47)
Mengomentari pendapat di atas. Al-Qathan berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang dapat dijadikan alasan untuk menjadikan rasm utsmani sebagai tauqifi. Rasm Utsmani murni merupakan kreativitas empat panitia atas persetujuan Utsman sendiri. Yang dijadikan pedoman cara penulisan yang digunakan panitia itu adalah pesan Utsman kepada tiga orang di antara panitia yang berasal dari suku Quraisy. Pesan itu berbunyi, “jika kalian berbeda pendapat (ketika menulis mushaf dengan Zaid bin Tsabit, tulislah dengan lisan Quraisy, karena dengan lisan itulah Al-Qur’an turun’’), ketika empat panitia itu terjadi perbedaan pendapat tenteng tata cara penulisan kata “at-tabut” Zaid menulisnya “at-tabuh”, sedangkan tiga orang lainya menullis “at-tabut”. Setelah persoalan itu diadukan kepada Utsman, ia berkata ,“ Tulislah “at-tabut” karena dengan lisan Quraisylah Al-Qur’an turun.
Bantahan serupa dikemukakan Subhi Shalih. Ia mengatakan ketidaklogisan rasm Utsmani disebut-sebut tauqifi. Masalahnya berbeda sekali dengan huruf tahajji seperti, alif lam mim, alif lam ra yang terdapat diawal beberapa surat karena huruf tahajji itu status Qur’annya mutawatir, akan tetapi istilah rasm utsmani baru lahir pada masa pemerintahan. Utsmanlah sesungguhnya yang menyetujui penggunaan istilah itu, bukan Nabi. Utsman bin Affan.



Penyempurnaan penulisan Al-Qur’an setelah masa Khalifah
Mushaf  yang ditulis atas perintah usman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah Satu qira’at yang tujuh. Ssetelah banyak orang non arab memeluk islam mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah abdul malik penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa yaitu Ubaidillah Bin Ziad dan Hajaj Bin Yusuf  Ats-Tsaqafi . Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampao abad 3 Hijryah atau 9 Masehi. Ketika proses penyempurnaan telah selesai tercatat tiga orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf usmani yaitu Abu Al-Aswad Ad-da’ulli, Yahya Bin Ya’mar dan Nasr Bin ‘Ahim Al-Laits. Adapun oraang pertama yang meletakkan hamzah, tasdid Al-Rum, Al-Isymam adalah Al-Kholil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu ‘Abdirrahman.
Penerbitan Al-Qur’an dengan  label  islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya ‘utsman dan mushaf cetakan itu lahir si saint-peters burg,usia, atau lenin grat, uni soviet sekarang. Lahir lagi kemudiaan, mushaf cetakan kazan. Kemudian terbitlagi di Iran tahun 1248 H/1828 M. Negri Persia menerbitkan mushaf cetakan di kota Teheran. 5 tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf di tabris. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian terbit lagi cetakan di Lipzig, Jerman.

DAFTAR PUSTAKA

Zuhdi, mssjfuk ,pengantar ulumul quran ,Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993
Anwar rosihon dr,m.Ag,Pengantar ulumul qur’an,2009
Ash-Shiddieqy Muhammad Hasbi,Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1953

No comments:

Post a Comment