PENGERTIAN AKHLAQ
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid III,
Secara etimologis (lugbatan) akhlaq
(Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq
yang berarti budi pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa
yang berarti menciptakan. Seakar
dengan kata Khaliq ”Pencipta”, makhluk (yang diciptakan) dan khalq (pnciptaan). Dengan asal tersebut
maka definisi akhlaq adalah tata perilaku seseoang terhadap orang lain dan
lingkungannya.
Kesamaan akar kata
diatas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya
keperpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan)
dengan perilaku makhluq (manusia).
Dari pengertian seperti ini, akhlaq bukan saja aturan/ norma perilaku yang
mengatur hubungan antara sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam sekalipun.[1]
Ada beberapa definisi tentang akhlaq di antaranya:
a.
Imam al-Ghazali:
“Akhlaq addalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.” [2]
b.
Abdul Karim
Zaidan:
“(Akhlaq)
adalah nilai-nilai yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan
timbangannya, seseorang dapat menilai baik atau buruk, untuk kemudian memilih, melakukan atau meninggalakannya.” [3]
c.
Ibrahim Anis:
“Akhlaq
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan , baik atau buruk, tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.” [4]
Dari
kutipan di atas dapat difinisikan bahwa akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa manusia, sehingga dia akan muncul
secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau
pertimbangan teerlebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
Jadi
definisi akhlaq kepada masarakat adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang
dilakukan secara spontan tanpa pertimbangan terlebih dahulu dalam lingkungan
atau kehidupaan.
PENTINGNYA MATERI INI DIBAHAS
PENTINGNYA MATERI INI DIBAHAS
Dalam
kehidupan kita tidak akan pernah terhindar dari akhlaq kepada lingkungan “masyarakat”
dan karena kita adalah mahluk sosial. Materi ini sangat penting agar kita bisa mengetahui
cara berakhlak yang baik di dalam lingkungan “masyarakat.”
Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Allah, dia tidak beriman!
Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman!” Seorang sahabat
bertanya: “Siapa dia (yang tidak beriman itu) ya Rasulallah?” Beliau menjawab:
“Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Bukhari)
Ini adalah salah satu hadits yang menerangkan bahwa pentingnya akhlaq
kepada masyarakat. Sampai-sampai tiga kali Rasulullah SAW menyebutkan kata
“Demi Allah dia tidak beriman”, ini kata yang sangat kita kwatirkan. Sebab jika
kita tidak memperdulikan tetangga kita bahkan saling membenci bisa-bisa Allah
sangat membenci kita. Semoga kita bukan golong yang seperti itu.
Seseorang yang mendirikan shalat tentunya
tidak akan melakukan perbuatan (akhlaq) yang tergolong keji dan mungkar, sebab
apalah arti shalat apabila tetap saja melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Demi
mencari ridha Allah SWT tentulah seorang hamba akan selalu berusaha menjankan
perintah-Nya seperti menahan dari kata-kata yang kotor dan perbuatan yang
tercela.
3.
IDENTIFIKASI
PROBLEMATIKA AHKLAK
Sering terjadinya peselisihan diantara masyarakat sangat
dipengaruhi oleh akhlak terhadap lingkungan (masyarakat). Kurangnya
keharmonisan di dalam kehiduppan bermasyakat menjadi sorotan yang lumayan
penting.
Banyak kejadian-kejadian yang timbul karena kurang
terciptanya hubungan komunikasi yang tidak lancar antara tetangga atau
masyarakat (lingkungan). Banyaknya fitnah-fitnah dalam masyarakat membuat
situasi kehidupan kurang harmonis.
A.
PEMBAHASAN
Akhlak Kepada Masyarakat
Masyarakat di sini bisa juga diartikan yang berada
disekitar kita yaitu tetangga. Tetangga sangat erat hubungannya dengan akhlak
dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali kita dapat tahu tentang akhlak diri
sendiri malah dari orang lain (tetangga), atau bisa disebut sebagai tolak ukur akhlak
kita.
Sebagian ulama muslim, diantaranya Prof. Manur Rajab,
Berpendapat bahwa norma/ akhlaq berarti sesuatu yang di jadikan tolak ukur
untuk memberikan penilaian saat terjadi pertentanngan antar berbagai pola
perilaku bahwa pola ini lebih baik dari pada pola itu.
Ia mengatakan : “Dengan apa kita menilai baik-buruk perilaku
perbuatan manusia.” Kemudian prof.
Rajab menetapkan sebuah kesimpulan penting bahwa pendapat para filsuf, tradisi
masyarakat setempat.an hukum konvensional tidak layak di jadikan sebgai norma/ akhlaq
sebab etika yang valid harus bersifat baku, alias tidak berubah-rubah, dan
besifat umum higga bisa diterapkan bagi segenap manusia anpa pandang bulu,
tempat, dan waktu. Kemudian, tridisi juga berbeda-beda
antar masyarakat satu dengan masyarakat lain.
Disamping karena faktor perbedaan waktu, sementara kaum
konvensional merpakan produk manusia yang bisa salah dan bisa benar dan
hukum-hukum konvensional inipun beragam sesuai dengan keragaman visi
pembuatannya.
Oleh karena itu , keiganya tidak layak di jadikan sebgai
norma akhlaq yang sahih. Adapun norma yang sahih adalah agama Islam, sebab ia
merupakan wahyu dari Tuhan, dan Dia tentu saja lebih mengetahui
perundang-undangan atau aturan hukum yang tepat dan bermaslahat bagi umat
manusia. Serta lebih mengerti soal aturan-aturan peribadatan maupun perilaku-perilaku
mulia yang bisa menyantunkan diri mereka dan meluruskan akhlaq mereka. Dan
semua itu berlandaskan prinsip iman dan islam.
Akhlak kepada masyarakat mempelajari tentang bagaimana
cara kita bertingkah laku di masyarakat. Akan di lihat dari 3 segi
atau sudut, diantaranya;
1.
Dari
segi Agama
Tujuan
dari kehidupan bermasyarakat diantaranya ialah menumbuhkan rasa cinta,
perdamaian, tolong-menolong, yang merupakan fondasi dasar dalam masyarakat
Islam. Dalam suatu hadits digambarkan kondisi seseorang yang beriman dengan
berakhlak mulia dalam kehidupan masyarakat.
Selain
kita memperlakukan dengan baik diri kita sendiri, kita juga harus memperhatikan
saudaranya (kaum muslim semuanya) dan juga tetangga kita. Tetangga
selalu ada ketika kita membutuhkan bantuan.
Seperti yang diriwayatkan
dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah beriman seoarang dari
kalian hingga ia menyukai saudaranya sebagaimana ia menyukai dirinya sendiri.” (H.R.
Bukhari)
Demikianlah
masyarakat Islam dibentuk , yakni melandaskan persaudaraan antar sesamaoarang
yang beriman. Agar masyarakat Islam dapat mencapai tujuannya guna merealisasikan
ibadah kepada ALLAH SWT dengan lingkup yang sangat luas.
Dari hadits shahih bahwasannya
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak masuk sorga orang yang tetangganya
tidak aman dari keburukannya” (H.R Muslim).
Bisa disebutkan bahwa
apabila salah satu tetangga kita sedang tertimpa suatu masalah dan sangat
membutuhkan bantuan hendaklah membantu jangan hanya berdiam diri padahal kita
tidak sadar sedang melakukan kesalahan-kesalahan. Pastilah Allah SWT sangat tidak suka terhadap orang yang
seperti itu, maka masuklah ke neraka (tidak masuk sorga).
Dari
beberapa sumber diatas juga memberikan pengetahuan kita bahwa pentingnya
hubungan baik dengan masyarakat (tetangga).
Apabila
seoarang tetangga kita ada yang ingin menjual rumahnya, baik itu karena desakan
ekonomi (terlilit hutang) maka yang
paling berhak membeli rumah adalah tatangga (setelah saudara).
Seperti yang telah
tertuang bahwasanya Rasulallah SAW bersabda:
Kehidupan
di masyarakat patilah akan menjumpai kegiatan silaturahim. Orang yang berakhlak
baik baisanya senang dengan bertamu atau silaturahim, karena ini dapat
mengutkan hubungan sesama muslim.
Beberapa hal kegiatan
dalam masyarakat antara lain;
Bertamu
Sebelum memasuki rumah,
yang bertamu hendaklah meminta izin kepada penghuni rumah dan setelah itu
mengucapkan salam.
Dengan Firman ALLAH
SWT:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu , agar kamu (selalu)
ingat.” (QS. An-Nur 24: 27)
Allah
SWT menjelaskan agar orang mukmin selalu beriman kepada-Nya dan berakhlaq dalam
bertamu dengan cara yang telah ditetapakan. Tamu hendaklah meminta izin kepada
pemilik rumah terlebih dahulu barulah mengucapkan salam. Ada beberapa ulama
yang mayoritas ahli fiqh berselisih pendapat. Mereka berargumentasi dari beberapa
hadits Rasulullah SAW riwayat Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah dan Ibn
‘Abd Al-Bar. [6]
Meskipun
dari sumber hadits yang berbeda-beda tetapi mereka menyatakan hal yang sama yaitu
mengucapkan salam terlebih dahulu baru meminta izin (as-salam qabl al-kalam).
Dari
perbedaan tadi, ada beberapa ulama yang berargumentasi lain. Mereka menyatakan
bahwa, apabila tamu melihat salah seorang penghuni rumah maka dia (tamu)
mengucapkan salam terlebih dahulu. Akan tetapi apabila tamu tidak melihat
pemilik rumah maka hendaklah dia (tamu) meminta izin dulu baru mengucapkan
salam. Pendapat
terskhir inilah yang diambil oleh al-Mawardi.[7]
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika seorang di antara kamu telah
meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklan dia kembali.” (HR.
Bukhari Muslim)
Menurut
Rasulullah SAW sendiri, dalam meminta
izin boleh dilakukan maksimal hanya tiga kali. Sudah sewajarnya dan seharusnya
apabila seorang tamu sudah meminta izin tiga kali namun tidak ada jawaban maka
tamu tadi kembali pulang. Jika berani masuk rumah tanpa izin dapat
berakibat buruk pada tamu it sendiri
seperti disangka pencuri oleh warga setempat yang melihatnya.
Tamu tidak boleh mendesakan keinginannya untuk
bertamu setelah ketukan ketukan ketiga,
dakarenakn dapat mengganggu pemilik rumah. Tuan rumah sekalipun dianjurkan
untuk menerima dan memuliakan tamu, akan tetapi tetappunya hak untuk menolak
kedatangan tamu dikarenakan tidak sedang siap dikunjungi oleh tamu.[8]
Meminta izin kepada
pemilik rumah dilakukan maksimal tiga kali itu memiliki sebab, diantaranya:
1.
ketukan pertama sebagai isyarat kepada pemilik rumah bahwa telah
kedatangan tamu.
2. Ketukan kedua
memberikan waktu untuk membereskan barang-barang yang mungkin berantakan dan
menyiapkan segala sesuatu yang piperlukan.
3. Ketukan ketiga
biasanya pemilik rumah sudah siap membukakan pintu. Akan tetapi bisa saja pada
waktu ketukan kedua pemilik rumah
sudah membukakan pintu, tergantung situasi dan kondisi pemilik rumah. [9]
Namun
bila pada ketukan ketingga tetap
tidak dibukakan pintu, kemungkinan pemilik rumah tidak bersedia menerima tamu
atau sedang tidak berada di rumah.
Merujuk firman Allah
SWT:
“Jika
kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum
kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja) lah ”, maka
hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersiih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nur 24:28)[10]
Maksud dari ayat ini
adalah pada saat bertamu namun tidak ada orang di dalamnya, bahkan ditolak
pemilik rumah janganlah masuk karena akan dinilai kurang memiliki akhlak. Ini akan akan menjaga nama dan kehormatan tamu itu
sendiri juga berdampak pada nama baiik pemilik rumah.
Menerima
Tamu
Salah
satu akhlak yang terpuji dalam Islam adalah menerima dan memuliakan tamu tanpa
membedakan status sosial.
Rasulullah SAW
bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan
barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia
memuliakan tamunya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadits diatas dapat
kita selidiki bahwa apabila seseorang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dalam
berbicara katakanlah hal yang baik jangan berkata yang tercela, bahkan lebih
baik lagi diam dari pada tidak dapat berkata baik. Memuliakan tetangganya disini bisa diartikan menyambut
baik tetangganya jangan malah merasa tidak nyaman apabila tamu datang serta
menyambut baik tamu. Selain dengan tetangga, seorang Muslim harus dapat
berhubungan baik dengan baik di lingkungan pendidikan, lingkungan kerja, sosial
dan yang lainnya.
Jika
tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap, maka pemilikan rumah atau
tuan rumah wajib menerima dan menjamunya dengan batasan maksimal tiga hari.
Apabila tamu mau menginap lebih dari tiga hari, terserah tuan rumah tetap
menjamunya atau tidak.
Rasulullah SAW
bersabda;
“Menjamu tamu
itu hanya tiga hari. Jizahnya sehari semalam. Apa yang dibelajakan untuk tamu
diatas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak bolaeh bagi tamu tetapmenginap
(lebih dari tiga hari). Karena hal itu akan
memberatkan tuan rumah.” (HR. Tirmidzi)
Menurut Rasulullah SAW,
menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban.
Menurut Imam Malik yang
dimaksud dengan jaizah sehari
semalam adalah memuliakan dan menjamu
tamu pada hari pertama dengan hidangan yang istimewa menjadi hidangan yang
biasa dimakan tuan rumah sehari-hari. Sedangkan menurut Ibn al-Atsir, yang
dimaksud dengan jaizah adalah memberi bekal kepada tamu untuk perjalanan
sehari-semalam. Ini karena
disesuaikan di daerah padang pasir, diperlukan bekal minimal sehari-semalam
sampai bertemu dengan tempat persinggahan berikutnya. [11]
Kedua
pemahaman di atas dapat di kompromikan dengan melakukan kedua-duanya apabila
memeng tamunya membutuhkan bekal guna melanjutkan perjalanan. Tapi apa pun
bentuknya, tujuannya sama yaitu untuk memuliakan tamunya dengan sedemikian
rupa.
Berhubungan baik dengan
tetangga
Sesudah
anggota keluarga kita, orang yang paling dekat adalah tetangga. Begitu
pentingnya peran tangga sampai-sampai Rasulullah SAW menganjurkan kepada siapa
saja yang akan membeli rumah atau mebeli tanah selanjutnya dibangun rumah,
hendaklah memperhatikan siapa yang akan menjadi tetangganya.
Beliau bersabda;
“Tetangga sebelum rumah, kawan sebelum
jalan, dan bekal sebelum perjalanan.” (HR. Khathib)
Dari hadits di atas
adalah pentingnya peran tetangga dalam hidup bermasyakat terutama dalam memilih
tempat untuk dijadikan tetangga dalam hidup bermasyakat terutama dalam memilih
tempat untuk dijadikan rumah saja kita harus memilih dengan beberapa aspek yang
harus diperhatikan.
Kita dapat melihat dari
sebuah kata “tetangga sebelum rumah” dalam kehidupan bermasyarakat, maksudnya
kita sebelum membangun sebuah rumah harus memilih atau mengetaui kondisi
tetangga kita. Diharapkan jaangan
sembarang dalam hal ini, karena akan berdampak pada diri kita sendiri.
Baik
buruknya sikap tetangga kita tentu tergantung juga bagaimana kita bersikap kepada mereka.
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW juga mengatakan bahwa tetangga yang baik
adalah salah satu dari tiga hal yang membahagiakan hidup, dengan sabdanya;
“Di antara yang membuat bahagia seoarang
Muslim adalah tetangga yang baik, rumah yang lapang, dan kendaraan yang
nyaman.” (HR.
Hakim)
Beberapa hal yang membuat bahagia seorang
muslim dalam kehidupan bermasyarakat yaitu tetangga yang baik, coba kita
bayangkan bila tetangga kita selalu konflik/ tidak akur. Kehidupan kita tidak
akan berjalan harmonis.
Allah SWT memerintahkan
kepada kita untuk berbut baik dengan tetangganya, baik tetangga dekat maupun
jauh. Pastilah orang akan akan sangat
senang apabila tatangganya baik kepada kita dan kita pun tidak akan segan untuk
membalas kebaikan tatangga kita itu. Ini menimbulkan dampak yang positif, namun
bila tetangga kita berselisih dengan kita pastinya akan ragu untuk menyapa baik
tetangga.
Bentuk Hubungan baik dengan tetangga
Bentuk-bentuk hubungan
baik dengan tetangga ini Raulullah SAW pernah berpesan kepada Abu Dzar:
“Jika engkau memasak gulai, perbanyaklah
kuahnya, kemudian peerhatikanlah tetangga-tetanggamu, dan berilah mereka
sepantasnya.” (HR.Muslim)
Salah satu hubungan
baik dengan tetangga dapat dilihat dari hadits shahih diatas, bahwa apabila
kita sedang memasak gulai atau memasak yang lainnya ingatlah kepada tatangga
kita. Sehingga walupun bahan gulai yang sedang dimasak kurang, kita dapat
menambah gulainya.Setelah masak, perhatikanlah tetangga kita. Berilah mereka tetangga kita gulai yang kita masak tadi
dengan sepantasnya.
Dijelaskan
juga bahwa seorangyang hidup saling berdampingan (bermasrakat) harus
memperhatikan tetangganya. Mengulurkan tangan untuk mengatasi kesulitan hidup
yang dihadapi oleh teetangga. Jangan sampai seseorang dapat tidur nyenyak,
sementara tetangganya menangis kelaparan. Seperti yang sabda
Rasulullah SAW:
“Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang
dapat tidur dengan perut kenyang sementara tetangganya
kelaparan, padahal dia mengetahui” (HR. Bazzar)
Dalam hadits yang lebih
panjang, Rasulullah SAW menguraikan bagaimana berbuat baik dengan tetangganya.
Beliau bersabda:
“Hak tetangga itu ialah, apabila ia
sakit kamu menjenguknya, apabila ia meninggal kamu mengiringi jenazahnya,
apabila ia membutuhkan sesuatu kamu meminjaminya, apabila ia tidak memiliki
pakaian kamu memberinya pakaian, apabila ia mendapatakan kebajikan kamu kmau
mengucapkan selamat kepadanya, apabila ia mendapatkan musibah kamu bertakziah
kepadanya, jangan engkau meninggalkan rumahmu atas rumahnya sehingga angin
terhalang masuk rumahnya, dan janganlah kamu menyakitinya dengan bau periukmu
kecuali kamu memberinya sebagian dari masakan itu.” (HR.
Tabranni)
2.
DARI SEGI ETIKA
Dalam segi etika dalam bertamu/ meminta izin dan mengucapkan salam perlu
diperhatikan sebagai berikut;
a)
Mengunakan kata-kata yang sopan setiap orang, tidak hanya pada waktu
bertamu saja. Akan tetapi pada waktu kapan saja dan dimana saja.
b)
Jangan bertamu sembarang waktu,
bertamulah pada saat yang tepat dimana tuan rumah diperkirakan tidak akan
terganggu. Misalnya jangan bertamu
pada saat istirahat atau waktu tidur.
c)
Kalau diterima bertamu, jangan
terlalu lama karena dikawatirkan akan merepokan tuan rumah. Setelah urusan selesai segeralah pulang, mungkin
saja tuan rumah masih ada kepentingan lain.
d)
Jangan melakukan kegiatan yang menyebabkan tuan rumah terganggu, misalnya
memeriksa dan perabotan rumah, dan memasuki ruangan pribadi tanpa izin penghuni
rumah. Diizinkan pemilik rumah bukan berarti boleh melakukan apa saja. Ini akan
sang berdampak buruk, bisa saja kita malah dianggap mau mencuri.
e)
Bila disuguhi minuman atau makanan hormatilah jamuan itu.
Maksud hormati di sini yaitu memakan apa yang disuguhkan namun sekadanya saja. Jangan malah
semua hidingnya di makan semua (melihat etika di daerah jawa). Berbeda bila
disuguhi air minum, baiknya minuman itu kita habiskan.
f)
Hendaklah pamit waktu mau pulang. Meninggalkan rumah tanpa pamit di
samping tidak terpuji, juga mengundang fitnah. Bisa saja kita disangka-sangka
tidak baik oleh tetangga lainnya, karena inin bisa mengundang fitnah.
Dalam menerima
tamu atau memuliakan tamu yang dilakukan antara lain:
a>
Menyambut kedatangan tamu
dengan muka yang manis dan senyuman.
Dengan diawali muka yang manis disertai senyuman
akan membawa awal yang baik bagi tamu. Tamu akan merasa nyaman bahkan senang
bertamu di tempat kita.
b> Menggunakan tutur kata yang lemah lembut.
Gunakanlah kata-kata yang lemah lembut, jangan malah
kita menggunakan kata-kata yang kasar. Ini akan berdapak pada kesalah fahaman tamu kepada kita, karena
yang datang itu kita belum tau sifatnya juga. Dampak lainnya juga menyebabkan hati yang bertamu menjadi senang.
c> Mempersilahkannya duduk di tempat yng baik.
Kalau perlu disediakan ruangan khusus untuk menerima tamu yang selalu
dijaga kerapian dan kebersihannya. Yujuannya agar memberikan kenyamanan kepada
tamu dan lebih menghargainya. Mungkin tamu tadi tidak datang setiap saat.
Dalam berkendara
Ketika kita menggunakan kendaraan, apalagi melewali
jalan desa atau perumahan tetangga. Hendaklah kita sadar diri dan mengunakan dan mengunakan etika yang baik,
seperti:
1> Kurangi kecepatan yang standar pada kecepatan antara
20-40 km/jam.Tinggal bagaimana kondisi yang sebenarnya.
2> Menyapa orang bila berpapasan, bahkan bersikap
rendah diri.
Dalam meminjam
barang
Dalam meminjam barang milik tetangga, hendaklah
segera dikembalikan walaupun tetangga tidak menyuruh untuk mengembalikan
secepatnya. Dikawatirkan yang meminjam lupa tidak mengembalikan, bahkan lupa
mengembalikan. Dapat mengurangi kepercayaan teetangga.
3.
DARI
SEGI BUDAYA
Akhlak lingkungan dapat dilihat dari segi budaya
adalah hal yang tidak dapat dihindarkan. Tetangga adalah harapan kita
apabila ada suatu masalah untuk memberikan bantuannya. Peran
tetangga sangat besar, sehingga menjadi suatu adat atau kebiasaan masyarakat
Jawa seperti;
a.
Mengabulkan/ menghadiri undangan
Mengabulkan undangan adalah salah satu kewajiban
sosial sesama muslim. Ini menjadi tradisi pergaulan dalam masyarakat. Bisa kita
banyangkan pandangan masyarakat atau tetangga, jika kita tidak menghadiri
undanganya. Akan banyak orang menggap buruk prilaku kita, masyarakat pun
bisa-bisa tidak menyenangi kita.
b.
Sadranan
Sadranan adalah kegiatan adat yang biasa dilakukan masyarakat pada saat
salah satu rumah warga akan dibangun atau di renofasi. Biasanya tuan rumah yang akan
merenofasi rumahnya akan mengundang tetangga sitar rumahnya sekitar 10 orang
bisa kurang, bisa juga lebih.
Diantara 10 orang tadi ada beberapa orang yang
lumayan ahli dalam bidangnya, untuk jumlahnya tergantung pemilik rumah. Lamanya
sadranan juga tergantung pemilik rumah dan tergantung pada waktu selesainya
renofasi.Sementara itu pemilik rumah setiap hari menyiapkan makan untuk para
pekeja semua.
Tidak ada upah dalam kegiatan renofasi, kecuali
untuk pekerja yang disewa oleh pemilik rumah. Kontribusi bagi yang lain adalah
diberi bungkusan makanan yang matang dalam bahasa jawa disebut sompet/
punjungan.
d>
Yasinan dan Tahlilan
Kegiatan masyarakat seperti ini masih melekat di kehidupan masyarakat
kita. Kegiatan yasinan dan tahlilan sering dilaksanakan
biasanya pada acara-acara khusus yang sudah membudaya pada masyarakat seperti;
1.
Setelah sesorang meninggal dunia.
Selain tujuannya untuk mendoa kan seseorang yang
meninggal dunia, juga menanmkan akhlak yang baik padatiap individu. Biasanya
dilakukan selama 7 hari berturut-turut setelah kematian. Dilakukan juga pada
saat 100 setelah meninggal dan 1000 hari setelah meninggal.
2.
Puputan/ penamaan bayi sewaktu umur 7 hari.
Budaya puputan sudah lama dilakukan masyarakat, pada
acara ini bayi yang sudah berumur 7 hari akan diberi nama dan pencukuran
rambut.
3.
Syukuran selesainya rehab rumah, dan masih banyak lagi kegiatan serupa.
Referensi
Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia,(Jakarta: Djambatan,
1992), hal. 9Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid III,
Abdul Karim Zaidah, Ushul ad-Da’wah (Baghda:
jam’iyyah al-Amani, 1976),
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wastib, (Kairo:
Dar al Ma’arif, 1972),
Lihat Muhammad ‘Ali ash- Shabuni, Rawai’u
al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam miin Al-Qur’an (Damaskus al-Ghazali,1977), jilid II
DR. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak,
Yogyakarta: LPPI, 1999, tebal 266 halaman.
Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A.,
Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: 1999,
Menteri Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Jakarta: 1978,
Lihat Muhammad Ibn al-Atsir al-Jazari, Jami’u al-Ushul fi Abadits
ar-Rasul (Riyadh: Dar al- Ifta’, 1971),
jilid VII
No comments:
Post a Comment