Friday, November 2, 2012

Akhlak Kepada Orang Tua Menurut Budaya


AkhlAkhlak Kepada Orang Tua Menurut Budaya
Akhlak kepada orang tua menurut budaya berarti sikap dan perilaku seorang anak kepada orang tuanya menurut suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama dan diwariskan dari generasi ke generasi. Akhlak seorang anak kepada orang tuanya tidak lepas dari peran orang tua itu sendiri dalam memberikan bimbingan serta memperkenalkan budaya sejak sang anak masih kecil.
Dalam hal ini, kami mengambil contoh dari budaya Jawa karena begitu erat kaitannya dengan agama Islam. Islam adalah agama yang damai, penuh toleransi. Lakum dinukum waliyadin, bagiku agamaku, bagimu agamamu. Begitu menurut Islam. Jawa adalah juga suku yang suka damai, luwes, dan kenyal terbuka terhadap pengaruh luar. Sewu sobat isih kurang, musuh siji wis kakehan. Seribu sahabat masih kurang, seorang musuh sudah terlalu banyak.
Islam mengajarkan Addinu husnul khuluk. Artinya, agama itu sesungguhnya adalah akhlak mulia. Seperti petuah Jawa Sing sujud karo Pangeran, sing bekti karo wong tuwa, sing rukun karo sedulur, sing asih karo sapepada.
Kita semua mesti tunduk dan pasrah kepada Allah SWT, berbakti pada orang tua, rukun dengan saudara, dan cinta kasih pada sesama makhluk. Itu semua kan cerminan akhlak mulia. Serupa dengan yang diamanahkan agama Islam: Khairukum, khairukum ti alihi. Artinya, sebaik-baik manusia adalah orang yang baik terhadap keluarganya, istri, dan anak-cucunya.
Seorang anak akan terbiasa menghormat orang tua atau orang yang lebih tua, misalnya : jalan sedikit membungkuk jika berjalan didepan orang tua dan dengan sopan mengucap : nuwun sewu ( permisi), nderek langkung ( perkenankan lewat sini).
Selain berperilaku halus dan sopan, juga berbahasa yang baik untuk menghormati sesama, apakah itu bahasa halus ( kromo) atau ngoko ( bahasa biasa). Bahasa Jawa yang bertingkat bukanlah hal yang rumit, karena unggah ungguh basa ( penggunaan bahasa menurut tingkatnya) adalah sopan santun untuk menghormat orang lain).
Pada dasarnya ada dua tingkatan dalam bahasa Jawa,yaitu : Kromo, bahasa halus dan ngoko, bahasa biasa. Bahasa kromo dipakai untuk menghormat orang tua atau orang yang perlu dihormat, sedangkan ngoko biasanya dipakai antar teman.
Semua kata yang dipakai dalam dua tingkat bahasa tersebut berbeda, contoh :
Bahasa Indonesia : Saya mau pergi.
Kromo                     : Kulo bade kesah.
Ngoko                     : Aku arep lunga.
Dalam percakapan sehari-hari, orang tua kepada anak memakai ngoko, sedang anaknya menggunakan kromo. Dalam pergaulan dipakai pula bahasa campuran yang memakai kata-kata dari kromo dan ngoko dan ini lebih mudah dipelajari dalam praktek dan sulit dipelajari secara teori.
Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa Islam tidak sama sekali menolak budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam penetapan hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut ‘urf, yakni penetapan hukum dengan mendasarkan pada budaya yang berkembang dalam masyarakat. Dengan cara ini berarti budaya dapat dijadikan dasar penetapan hukum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw, maka budaya seperti itu dapat dilakukan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka budaya itu harus ditinggalkan dan tidak boleh dikembangkan.
F.                 Akhlak Kepada Guru Menurut Budaya
  1. Meneladani sikap dan sifat guru yang baik akhlaknya, tinggi ilmunya dan patut dicontoh.
  2. Mematuhi dan mengikuti guru.
  3. Tidak boleh meremehkan guru, harus senantiasa mengagungkannya dan meyakini ilmu yang dimilikinya.
  4. Selalu menghormati dan santun kepada guru walaupun tidak sedang berasa pada lingkungan sekolah.
  5. Bersikap sabar ketika guru sedang melakukan kesalahan atau tidak sesuai dengan apa yang kita tahu.
  6. Berterimakasih kepada guru atas segalailmu yang telah diberikan kepada kita.
  7. Berperilaku sopan kepada guru dimanapun kita berada dan kapanpun kita berjumpa.
  8. Berperilaku yang sopan serta lemah lembut kepada guru.
  9. Meminta izin kepada guru apabila ingin berbicara atau berpendapat atau bertanya kepada guru apabila guru sedang menjelaskan.

No comments:

Post a Comment