Hukum Islam pada Masa Penjajahan
Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap
kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang
Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah
organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya.
Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan
VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping
menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum
Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu
menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima
hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk
pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan, Kaitannya
dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak
VOC, yaitu :
1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada
tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para
pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya
kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat.
Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan
Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai
wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu
dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi
yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga
memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. Pengakuan terhadap hukum Islam ini
terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan
Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles
menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali
memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak
Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh
Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Atas dasar
teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang
pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan,
ia belum diterima oleh hukum adat setempat). Pada tahun 1925, dilakukan
perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama
dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama
muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima
oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya
posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan
Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
B. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
B. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun
demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk
menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
- Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
- Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
- Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan
Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
- Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti
Muhammadiyah dan NU.
- Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
- Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
- Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
- Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
- Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam
untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli
hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang
hal itu.
Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka. Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.
Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka. Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.
C. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan (1945)
Perdebatan panjang tentang dasar
negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan
Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada
pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini
menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara
Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI. Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI. Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam
pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia
memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh
tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara.
Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah
Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan
untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian
kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah
apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember
1949.
Dengan
berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai
konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara
Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit
untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam.
Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum
Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula
dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang
berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun
bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu
utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar
menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan
meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa
pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling
fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa
Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada
tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung
dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin
merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka
Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara
Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun
1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih
banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin
pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan
bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
D. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde
Baru
Mungkin
tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum
nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk
dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi
umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh
Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera
Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]-
bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang
berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan
2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus
memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum
Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan
atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam
sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu
membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali
tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul
gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam
Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka
mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di
Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi
yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan
perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto
menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali
partai Masyumi.
E. Hukum Islam di Era Reformasi
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
F. Hukum Islam Dalam Sistem Tatanan
Hukum Di Indonesia
Hukum islam merupakan bagian dari agama islam yang pelaksanaanya diatur berdasarkan syari’at islam. Syari’at sebagaimana dijelaskan pada lembaran awal, adalah mengatur mengatur mengenai hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan sesame. Oleh karena hukum tidak mengenal pengaturan lahiriyah antara manusia dengan tuhan ( ibadat ) bila dilihat dari ilmu fiqh, maka yang dapat dimasukkan kedalam hokum islam itu adalah bagian muammalat dari syariat. Bahkan hanya sebagian keccil saja yang telah menjadi bagian dari hukum ( positif ) Indonesia. ( saidus Syahar, 1986 : 110 ). Muammalat menurut kitab-kitab fiqh yang ada meliputi :
1. Munakahat dengan segala aspek
yang terkait didalamnya
2. Fara’idh ( pembagian harta pusaka
/ waris )
3. Jinayat ( hukum pidana )
4. Jihad ( hukum perang )
5. Buyu’ ( hukum jual beli termasuk
didalamnya syarat dan rukunnya )
6. Syarikat ( perseroan )
7. Al-hilafah ( hukum tata Negara )
8.Aqdhiyah(hukumacara)(sulaimanrasyid,1976)
Diantara materi hukum islam diatas, yang telah masuk sebagian hukum Indonesia hanyalah bagian “ Munakhat ” untuk seluruh Indonesia, dan “ Fara’idh ” untuk sebagian Indonesia. Munakhat ini berlakunya berdasarkan UU No 22 tahun 1946 yang mengatur pendaftaran atau pencatatan nikah, talaq, rujuk dan disempurnakan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sedangkan hukum faraidh berlaku berdasarkan UU No 45 tahun 1957, sedangakan diluar jawa dan Madura masih menggunakan hukum adat masing-masing. Perlu diketahui bahwa “ peradilan agama ” merupakan peradilan luar biasa yang tetap ada dan diakui hingga sekarang sesuaia dengan UU Darurat No 1 tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan peradilan sipil. Bagian hokum positif Indonesia, sebagaimana anatara lain dinyatakan oleh ordinasi dan peraturan pemerintah yang mengatur peradilan agama diatas dan yang ditunjuk oleh undang-undang pokok perkawinan terbaru ( UU No 1 Tahun 1974 ).
No comments:
Post a Comment