Sunday, November 4, 2012

Klasifikasi Hadits


A. Pengertian Hadits
Ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan, pengakuan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah Rasulullah SAW beserta sanad-sanad (dasar penyandarannya) dan ilmu pengetahuan untuk membedakan keshahihannya, kehasanannya dan kedha`iffannya daripada lainnya, baik matan maupun sanadnya.

B.  Klasifikasi Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas Rawinya

Ditinjau dari segi kuantitas rawi yang menjadi sumber berita, ulumul hadits sangat penting kedudukannya bagi hadits kepentingan tersebut antara lain ditunjukkan untukk mengetahui apakah hadits itu shahih atau tidak, di samping itu juga untuk menilai periwayatyang terlibat dalam suatu hadits sehingga dapat diketahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak. Upaya ini adalah untuk memberikan kemantapan dalam beramal karena secara hidstoris pembukuan hadits memakan waktu yang cukup lama. Kajian yang berkembang atas ilmu hadits adalah masalah yang berpusat sama. Jarang sekali ditemukan kajian yang berpusat atas matan. Selain itu, dari sisi pemahaman isi pesan yang dibawa dalam hadits perlu adanya elaborasi tentang bagaimana konteks historinyadan beberapa poemahaman yang dilakukan sahabat beserta ulama. Upaya ini secara langsung akan dapat mempermudah dalam melaksanakan kontekstualisasi hadits dan menentukan kapan suatu hadits itu dapat dipahami secara tekstual maupun kontekstual.

Semakin banyak periwayat hadits yang meriwayatkan suatu hadits maka semakin baik. Hadits yang hanya diriwayatkan oleh beberapa orang saja disebut dengan hadits ahad dan apabila diriwayatkan oleh banyak orang tiap tingkatannya semakin banyak serta tidak memungkinkan mereka itu berkumpul untuk berbohong maka hadits itu dihukumi sebagai hadits mutawatir.

Pembagian hadits ditinjau dari kuantitas rawi yang menjadi sumber berita, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama ushul, seperti Abu Bakar Al Jashas (305-370 H) berpendapat bahwa secara kuantitas hadits dibgi menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawartir masyhur dan ahad. Sedangkan golongan ulama lain (kebanyakan ulama  ushul dan ulama kalam ) membaginya menjadi duan yakni hadits mutawatir dan ahad. Ulama golongan pertama menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri tidak termasuk pada basghian hadits ahad. Sedangkan ulama golongan kedua berpendapat bahwa hadits masyhur bukan merupalkan hadits yang berdiri sendiri, namun ia merupakan bagian dari hadits ahad .

Hadits Mutawatir
               
Dari segi bahasa hadits yang mutawatir berasal dari isim fai’l mustaq yaitu al tawatur yang berarti tatabu (datang berturut-turut dan beriringan satu dengan yang lainnya dan tanpa perselangan), secara istilah yang dimaksud dengan mutawatir adalah hadis yang diriwayatlan oleh banyak rawi dalam setiap tingkatan satu dengan yang lainnya dan masing- masing rawi tersebut semuanya adil yang tidak memungkinkan mereka itu sepakat berdusta atau bohong dan bersandar pada panca indera. Secara definitive hadits mutawatir ialah suatu hadits hasil tangapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka kumpul dan bersepakat dusta.
Oleh karena rawi terakhir yang mendewankan hadits secara resmi ke dalam dewan hadits itu, tidak hidup sejaman dengan Rasulullah SAW, maka sudah barang tentu hadits Rasulullah yang sampai/kepadanya untuk didewankan itu melalui rawi-rawi setiap generasi yang diperlukan sebagai sumber berita. Jika jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadits itu banyak sekali, kemudian rawi dalam generasi tabi`in yang menerima hadits dari rawi-rawi generasi pertama atau sahabat sudah banyak jumlahnya dan tabiut-tabiin yang menerimanya dari tabiinpun seimbang jumlahnya, bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam keadaan yang sama sampai kepada rawi-rawi yang mendewankan hadits, maka hadits tersebut dinamakan hadits mutawatir.
 Syarat syarat hadits mutawatir
a.    Adapun mengenai syarat-syarat hadits mutawatir ini para ulama mutaqodimin dan mutaakhirin berbeda pendapat. Ulama Mutaqoddimin tidak membicarakan syarat, menurut mereka khobar mutawatir yang sedemikian sifatnya tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al hadits, sebab ilmu ini membicarakan tentang shahih atua tidaknya suatu hadits, diamalkan atau tidak dan juga membicarakan adil atau tidaknya rawi sementara pada hadits mutawatir tidak dibicarakan hal demikian. Bila suatu hadits sudah ditetapkan sebagai mutawtr maka wajib diyakini kebenarannya dan diamalkan kandunganya, serta tidak boleh ada keraguan terhadapnya, sedangkan ulama muta’akhirin ahli ushul berpandapat bahwa suatu hadits ditetapkan sebagai hadits mutawatir jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

v  diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa pada  suatu keykinan bahwa merekla tidak mungkin bersepakat untuk dusta. Dalam hal ini Al Qadi Al Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang. Astikhary berpendapat bahwa jumlah perawi mutawatir yang paling baik minimal 10 orang karena merupakan awal bilngan banyak. Sementara sebagian ulama lain menentukan 12 orang berdasarkan surat Al Maidah:12. Dan yang lain menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan surat Al Anfal:65.
v  Adanya keseimbangan pada jumlah perawi pada setiap tobaqot. Dengan demikian bila suatu hadits diriwayatkan oleh 20 orang perawi sahabat, kemudian 10 orang perawi tabi’in dan 5 orang perawi tabi’ut tabi’in maka tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawatir.
v  Berdasarkan tangkapan panca indera, berita yang disampaikan oleh perawi hadits tersebut harus benar-benar berasal dari panca indera, seperti pendengaran ataupun penglihatan sendiri.

1.             Pewartaan bersandar pada panca indera. Yakni warta yang mereka sampaikan harus benar –benar hasil pendengaran atau hasil penglihatan sendiri (metode al sama’). Dalam pandangan ulama metode ini adalah metode terbaik (kegiatan tahammul wa al ada’)

2.             Jumlah rawi harus mencapai suatu ketentaun yang tidak mungkin bagi mereka bersepakat bohong pada ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal yang ditentukan :
·      Abbu Thayyib menentukan sekurang kurangnya empat orang karena dikaitkan dengan jumlah saksi yang diperlukan hakim untuk memvonis kepada terdakwa.
·      Ashabussyafii menetukan minimal lima orang karena mengqiyaskannya dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulul azmi.
·      Sebagian ulama ada yang menetapkan, minimal 20 orang alasannya, dengan menqiyaskannya bilangan 20 orang yang disebut dengan Al Quran surat Al Anfal : 65 yang artinya “jika ada 20 orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh”
·      Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Karena mereka mengqiyaskannya dengan firman Allah dalam surat Al Anfal : 64 yang artinya “Ya Nabi cukupkanlah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu (menjadi penolongmu).

Macam-macam hadits mutawatir

Hadits mutawatir ada 3 macam yaitu :

1.    Hadits mutawatir Lafdzy
Yakni hadits mutawatir yang diriwayatkan dengan lafadz dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama pula. Contoh hadits Nabi Muhammad SAW :


2.    Hadits mutawatir Ma’nawi
Yakni hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda tetapi apabila dikumpulkan mempunyai makna umum yang sama. Contoh : hadits tentang mengangkat tangan  waktu berdo’a di luar shalat.

3.      Hadits mutawatir ‘amaliy
Yakni amalan agama yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW kemudian diikuti oleh para sahabat, lalu diikuti oleh para tabiin dan seterusnya diikuti oleh generasi-generasi sampai kiya sekarang ini.
Hadits Ahad

       Suatu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir disebut hadits ahad. Ulama muhadditsin menta’rifkan dengan “hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”

Hadits Ahad dibagi menjadi tiga yaitu :

a.    Hadits Masyhur
      
Yang dimaksud dengan hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
Menurut ulama fiqih, hadits masyhur itu adalah muradhif dengan hadits mustafid. Sedang ulama yang lain membedakannya. Yakni, suatu hadits dikatakan dengan mustafid bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari tobaqoh pertama sampai dengan tobaqoh terakhir. Sedang hadits masyhur lebih umum daripada hadits mustafidl. Yakni, jumlah rawi-rawi dalam tiap-tiap tobaqoh tidak harus sama banyaknya atau seimbang, karna itu, dalam hadits masyhur, bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam tobaqoh pertama, sahabat, tobaqoh kedua, tabi`iy, tobaqoh ketiga, tabiut-tabiin,dan tobaqoh keempat, orang orang setelah tabiut-tabiin tediri dari seorang saja baru kemudian jumlah rawi-rawi dalam tobaqah kelima dan seterusnya banyak sekali. Hadits tersebut pada tobaqoh pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat umar sendiri pada tobaqoh kedua hanya diriwayatkan oleh alqomah sendiri pada tobaqoh ketiga hanya diriwayatkan oleh ibnu Ibrahim. Ataimi sendiri pada tobaqoh ke empat hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Said sendiri dari Yahya bin Said inilah hadist tersebut diriwayatkan oleh orang banyak di tinjau dari klasifikasi hadits ahad yang lain, maka hadits umar tersebut dapat dikatakan dengan hadits gharib pada awalnya, masyhur pada akhirnya.
Masyhur secara bahasa berarti al-intisyar wa al-zuyu’, yakni sesuatu yang sudah tersebar dan popular. Sedangkan secara istilah ajjaj al-khotib mendefinisikan hadits masyhur sebagai: “hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”
Definisi hadits masyhur secara ringkas adalah :
“hadits yang mempunyai jalanyang terhingga, tetapi lebijh dari dua jalan dan tidak sampai pada batas mutawatir.

Hadits ini dinamakan masyhur karena sudah tersebar luas di kalangan masyarkat. Ada sebagian ulama yang memasukkan hadits masyhur pada semua hadits yang telah popeler dalam masyarakat sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik nerstatus shahih ataupun dhai’if. Hadits masyhur shahih adalah hadits yang telah memnuhi persuyaratan shahih, baik sanad maupun matannya. Seperti hadits Ibnu Umar :



“ barangsiapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi.”

b.   Aziz
       Secara bahasa ‘aziz berasal dari kata ‘azza ya’azzu yang berarti kuat atau disebut juga dengan al-syarif (yang mulia). Adapun secara istilah : hadits yang jumlah periwaytanya tidak kurang dari dua orang dari seluruh tingkatannya.
       Apakah sesuai dengan namanya maka hadits ‘aziz otomatis bernilai shahih? Sebagaimana diketahui bahwa jumlah periwayat yang banyak bukan secara otomatis akan menjadikan suatu hadits shahih. Oleh karena itu, kualitas hadits ‘aziz bermacam-macam seperti hadits shahih, hadits hasan dan dha’if. Contoh hadits ‘aziz adalah hadits tentang mencintai nabi Muhammad SAW :



tidaklah beriman seseorang kepada kami sehingga mencintai diri nabi dari cintanya kepada orangtua dan anaknya.”

c.    Gharib
       Secara etimologis kata gharib merupakan sifat musyabbih yang bermakna sendirian atau jauh dari keluarganya, atau tanah air atau sulit difahami. Secara istilah hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang periwayat saja dengan tidak dipersoalkan dalam tobaqot mana sajanya.
       Kemungkinan-kemungkinan keghariban suatu hadits :
1.         Hadits yang gharib dari sisi matan. Adapun bentuknya dikarenakan seluruh matan hadits tidak dikenal oleh seluruh ulama hadits. Hal ini disebabkan adanya rawi (sanad yang gharib) atau berupa lafal dari hadits yang sulit difahami karena dalam masyarakat, matan tersebut jarang digunakan. Contoh :




Istilah min almuslimin tersebut gharib karena hanya didapat dari Imam Malik, sedang di ulama lain tidak ditemukan. Adanya keghariban dalam satu kata tidak menyebabkan sanadnya juga gharib kecuali keghariban tersebut terjadi pada keseluruhan matan hadits.


2.         Hadits gharib dari sisi sanad. Terdapat dua kemungkinan yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
a.         Gharib mutlak yaitu keghariban terletak pada asal sanad yaitu tingkat tabiin dan tabiut-tabiin dan terjadi pada setiap tingkatannya. Keghariban sanad tidak berlaku pada tingkatan sahabat. Hal ini ulama bersepakat bahwa rawi di tingkat sahabat dinyatakan adil semuanya walaupun sendirian. Contoh :



Hadits tersebut dikeluarkan oleh bukhari & Muslim dengan sanad yang sama kecuali pada tingkatan yang pertama ‘Abdullah ibnu Mahmud untuk Al Bukhari dan Muslim dengan sanad Abdullah ibnu Humaid dan Ubaidillah ibnu Said. Sedangkan assanad yang lain adalah : Abu Amir, Sulaiman ibnu Hilal, Abdullah ibnu Dinar Abu Shalih dan Abu Hurairah.

b.         Gharib nisbi yaitu keghariban terletak pada sifat atau keadaannya bukan dalam kapasitas jumlah periwayatnya. Keganjilan tersebut dapat terjadi dalam hal keadilan dan kedhabitan. Contoh :



Hadits tersebut diriwayatkan oleh rawi yang kredibel, namun ada rawi yang dilemahkan yaitu Ibnu Al Lahi’ah. Kemungkinan lain dilihat dari sisi tempat tinggalnya misalnya dari Basrah saja seperti hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud :


3.    Hadits gharib dari sisi sanad dan matan.
Hadits gharib belum tentu bernilai dha’if, namun ada yang shahih juga. Terhadap kehujjahan hadits ahad ulama berbeda pendapat ada yang mengatakan qot’i ada yang dzanni al wurud atau dalalahnya.

No comments:

Post a Comment