A. Pengertian
Hadits
Ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan,
pengakuan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah Rasulullah SAW beserta sanad-sanad
(dasar penyandarannya) dan ilmu pengetahuan untuk membedakan keshahihannya,
kehasanannya dan kedha`iffannya daripada lainnya, baik matan maupun sanadnya.
B. Klasifikasi
Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas Rawinya
Ditinjau dari segi kuantitas rawi yang menjadi sumber berita,
ulumul hadits sangat penting kedudukannya bagi hadits kepentingan tersebut
antara lain ditunjukkan untukk mengetahui apakah hadits itu shahih atau tidak,
di samping itu juga untuk menilai periwayatyang terlibat dalam suatu hadits
sehingga dapat diketahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak. Upaya
ini adalah untuk memberikan kemantapan dalam beramal karena secara hidstoris
pembukuan hadits memakan waktu yang cukup lama. Kajian yang berkembang atas
ilmu hadits adalah masalah yang berpusat sama. Jarang sekali ditemukan kajian yang berpusat atas
matan. Selain itu, dari sisi pemahaman isi pesan yang dibawa dalam hadits perlu
adanya elaborasi tentang bagaimana konteks historinyadan beberapa poemahaman
yang dilakukan sahabat beserta ulama. Upaya ini secara langsung akan dapat
mempermudah dalam melaksanakan kontekstualisasi hadits dan menentukan kapan
suatu hadits itu dapat dipahami secara tekstual maupun kontekstual.
Semakin banyak periwayat hadits yang meriwayatkan suatu
hadits maka semakin baik. Hadits yang hanya diriwayatkan oleh beberapa orang
saja disebut dengan hadits ahad dan apabila diriwayatkan oleh banyak
orang tiap tingkatannya semakin banyak serta tidak memungkinkan mereka itu
berkumpul untuk berbohong maka hadits itu dihukumi sebagai hadits mutawatir.
Pembagian hadits ditinjau dari kuantitas rawi yang menjadi
sumber berita, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama ushul, seperti Abu Bakar Al
Jashas (305-370 H) berpendapat bahwa secara kuantitas hadits dibgi menjadi tiga
bagian, yakni hadits mutawartir masyhur dan ahad. Sedangkan golongan ulama lain
(kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam
) membaginya menjadi duan yakni hadits mutawatir dan ahad. Ulama golongan
pertama menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri tidak termasuk pada
basghian hadits ahad. Sedangkan ulama golongan kedua berpendapat bahwa
hadits masyhur bukan merupalkan hadits yang berdiri sendiri, namun ia merupakan
bagian dari hadits ahad .
Hadits Mutawatir
Dari segi bahasa hadits yang mutawatir berasal dari isim fai’l
mustaq yaitu al tawatur yang berarti tatabu (datang berturut-turut
dan beriringan satu dengan yang lainnya dan tanpa perselangan), secara istilah
yang dimaksud dengan mutawatir adalah hadis yang diriwayatlan oleh banyak rawi
dalam setiap tingkatan satu dengan yang lainnya dan masing- masing rawi
tersebut semuanya adil yang tidak memungkinkan mereka itu sepakat berdusta atau
bohong dan bersandar pada panca indera. Secara definitive hadits mutawatir
ialah suatu hadits hasil tangapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka kumpul dan
bersepakat dusta.
Oleh karena rawi terakhir yang mendewankan hadits secara
resmi ke dalam dewan hadits itu, tidak hidup sejaman dengan Rasulullah SAW,
maka sudah barang tentu hadits Rasulullah yang sampai/kepadanya untuk
didewankan itu melalui rawi-rawi setiap generasi yang diperlukan sebagai sumber
berita. Jika jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadits itu banyak
sekali, kemudian rawi dalam generasi tabi`in yang menerima hadits dari
rawi-rawi generasi pertama atau sahabat sudah banyak jumlahnya dan
tabiut-tabiin yang menerimanya dari tabiinpun seimbang jumlahnya, bahkan
mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam keadaan yang sama sampai kepada
rawi-rawi yang mendewankan hadits, maka hadits tersebut dinamakan hadits
mutawatir.
Syarat syarat hadits mutawatir
a.
Adapun mengenai syarat-syarat hadits mutawatir
ini para ulama mutaqodimin dan mutaakhirin berbeda pendapat. Ulama Mutaqoddimin
tidak membicarakan syarat, menurut mereka khobar mutawatir yang sedemikian
sifatnya tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al hadits, sebab ilmu ini
membicarakan tentang shahih atua tidaknya suatu hadits, diamalkan atau tidak
dan juga membicarakan adil atau tidaknya rawi sementara pada hadits mutawatir
tidak dibicarakan hal demikian. Bila suatu hadits sudah ditetapkan sebagai
mutawtr maka wajib diyakini kebenarannya dan diamalkan kandunganya, serta tidak
boleh ada keraguan terhadapnya, sedangkan ulama muta’akhirin ahli ushul
berpandapat bahwa suatu hadits ditetapkan sebagai hadits mutawatir jika
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
v
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa
pada suatu keykinan bahwa merekla tidak
mungkin bersepakat untuk dusta. Dalam hal ini Al Qadi Al Baqilani
menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya berjumlah 5
orang. Astikhary berpendapat bahwa jumlah perawi mutawatir yang paling
baik minimal 10 orang karena merupakan awal bilngan banyak. Sementara sebagian
ulama lain menentukan 12 orang berdasarkan surat Al Maidah:12. Dan yang lain
menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang berdasarkan surat Al Anfal:65.
v Adanya
keseimbangan pada jumlah perawi pada setiap tobaqot. Dengan demikian bila suatu
hadits diriwayatkan oleh 20 orang perawi sahabat, kemudian 10 orang perawi
tabi’in dan 5 orang perawi tabi’ut tabi’in maka tidak dapat digolongkan sebagai
hadits mutawatir.
v Berdasarkan
tangkapan panca indera, berita yang disampaikan oleh perawi hadits tersebut
harus benar-benar berasal dari panca indera, seperti pendengaran ataupun
penglihatan sendiri.
1.
Pewartaan bersandar pada panca indera. Yakni warta
yang mereka sampaikan harus benar –benar hasil pendengaran atau hasil
penglihatan sendiri (metode al sama’). Dalam pandangan ulama metode ini adalah
metode terbaik (kegiatan tahammul wa al ada’)
2.
Jumlah rawi harus mencapai suatu ketentaun yang tidak
mungkin bagi mereka bersepakat bohong pada ulama berbeda pendapat tentang
jumlah minimal yang ditentukan :
· Abbu Thayyib menentukan sekurang kurangnya empat
orang karena dikaitkan dengan jumlah saksi yang diperlukan hakim untuk memvonis
kepada terdakwa.
· Ashabussyafii menetukan minimal lima orang karena
mengqiyaskannya dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulul azmi.
· Sebagian ulama
ada yang menetapkan, minimal 20 orang alasannya, dengan menqiyaskannya bilangan
20 orang yang disebut dengan Al Quran surat Al Anfal : 65 yang artinya “jika
ada 20 orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan 200
orang musuh”
· Ulama yang lain
menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Karena mereka
mengqiyaskannya dengan firman Allah dalam surat Al Anfal : 64 yang artinya “Ya Nabi
cukupkanlah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu (menjadi penolongmu).
Macam-macam hadits mutawatir
Hadits mutawatir ada 3 macam yaitu :
1. Hadits
mutawatir Lafdzy
Yakni hadits mutawatir yang diriwayatkan dengan lafadz dan
makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama pula. Contoh hadits Nabi
Muhammad SAW :
2. Hadits
mutawatir Ma’nawi
Yakni hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda tetapi apabila dikumpulkan
mempunyai makna umum yang sama. Contoh : hadits tentang mengangkat tangan waktu berdo’a di luar shalat.
3. Hadits
mutawatir ‘amaliy
Yakni amalan agama yang
dikerjakan oleh Rasulullah SAW kemudian diikuti oleh para sahabat, lalu diikuti
oleh para tabiin dan seterusnya diikuti oleh generasi-generasi sampai kiya
sekarang ini.
Hadits Ahad
Suatu hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits mutawatir disebut hadits ahad. Ulama muhadditsin menta’rifkan
dengan “hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”
Hadits
Ahad dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Hadits
Masyhur
Yang
dimaksud dengan hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
Menurut
ulama fiqih, hadits masyhur itu adalah muradhif dengan hadits mustafid. Sedang
ulama yang lain membedakannya. Yakni, suatu hadits dikatakan dengan mustafid
bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari tobaqoh
pertama sampai dengan tobaqoh terakhir. Sedang hadits masyhur lebih umum
daripada hadits mustafidl. Yakni, jumlah rawi-rawi dalam tiap-tiap tobaqoh
tidak harus sama banyaknya atau seimbang, karna itu, dalam hadits masyhur, bisa
terjadi jumlah rawi-rawinya dalam tobaqoh pertama, sahabat, tobaqoh kedua,
tabi`iy, tobaqoh ketiga, tabiut-tabiin,dan tobaqoh keempat, orang orang setelah
tabiut-tabiin tediri dari seorang saja baru kemudian jumlah rawi-rawi dalam
tobaqah kelima dan seterusnya banyak sekali. Hadits tersebut pada tobaqoh
pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat umar sendiri pada tobaqoh kedua hanya diriwayatkan
oleh alqomah sendiri pada tobaqoh ketiga hanya diriwayatkan oleh ibnu Ibrahim.
Ataimi sendiri pada tobaqoh ke empat hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Said
sendiri dari Yahya bin Said inilah hadist tersebut diriwayatkan oleh orang
banyak di tinjau dari klasifikasi hadits ahad yang lain, maka hadits umar
tersebut dapat dikatakan dengan hadits gharib pada awalnya, masyhur pada
akhirnya.
Masyhur
secara bahasa berarti al-intisyar wa al-zuyu’, yakni sesuatu yang sudah
tersebar dan popular. Sedangkan secara istilah ajjaj al-khotib mendefinisikan
hadits masyhur sebagai: “hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi
bilangannya tidak sampai ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir
setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”
Definisi
hadits masyhur secara ringkas adalah :
“hadits
yang mempunyai jalanyang terhingga, tetapi lebijh dari dua jalan dan tidak
sampai pada batas mutawatir.
Hadits
ini dinamakan masyhur karena sudah tersebar luas di kalangan masyarkat. Ada
sebagian ulama yang memasukkan hadits masyhur pada semua hadits yang telah
popeler dalam masyarakat sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik
nerstatus shahih ataupun dhai’if. Hadits masyhur shahih adalah hadits yang
telah memnuhi persuyaratan shahih, baik sanad maupun matannya. Seperti hadits
Ibnu Umar :
“
barangsiapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi.”
b. Aziz
Secara bahasa ‘aziz berasal dari kata ‘azza ya’azzu yang
berarti kuat atau disebut juga dengan al-syarif (yang mulia). Adapun secara
istilah : hadits yang jumlah periwaytanya tidak kurang dari dua orang dari
seluruh tingkatannya.
Apakah sesuai dengan namanya maka hadits
‘aziz otomatis bernilai shahih? Sebagaimana diketahui bahwa jumlah periwayat
yang banyak bukan secara otomatis akan menjadikan suatu hadits shahih. Oleh
karena itu, kualitas hadits ‘aziz bermacam-macam seperti hadits shahih, hadits
hasan dan dha’if. Contoh hadits ‘aziz adalah hadits tentang mencintai nabi
Muhammad SAW :
“tidaklah
beriman seseorang kepada kami sehingga mencintai diri nabi dari cintanya kepada
orangtua dan anaknya.”
c. Gharib
Secara etimologis kata gharib merupakan sifat musyabbih yang
bermakna sendirian atau jauh dari keluarganya, atau tanah air atau sulit
difahami. Secara istilah hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh
satu orang periwayat saja dengan tidak dipersoalkan dalam tobaqot mana sajanya.
Kemungkinan-kemungkinan keghariban suatu
hadits :
1.
Hadits yang gharib dari sisi matan. Adapun bentuknya dikarenakan
seluruh matan hadits tidak dikenal oleh seluruh ulama hadits. Hal ini
disebabkan adanya rawi (sanad yang gharib) atau berupa lafal dari hadits yang
sulit difahami karena dalam masyarakat, matan tersebut jarang digunakan. Contoh
:
Istilah
min almuslimin tersebut gharib karena hanya didapat dari Imam Malik,
sedang di ulama lain tidak ditemukan. Adanya keghariban dalam satu kata tidak
menyebabkan sanadnya juga gharib kecuali keghariban tersebut terjadi pada
keseluruhan matan hadits.
2.
Hadits gharib dari sisi sanad. Terdapat dua kemungkinan yaitu gharib
mutlak dan gharib nisbi.
a.
Gharib mutlak yaitu keghariban terletak pada asal
sanad yaitu tingkat tabiin dan tabiut-tabiin dan terjadi pada setiap
tingkatannya. Keghariban sanad tidak berlaku pada tingkatan sahabat. Hal ini
ulama bersepakat bahwa rawi di tingkat sahabat dinyatakan adil semuanya
walaupun sendirian. Contoh :
Hadits
tersebut dikeluarkan oleh bukhari & Muslim dengan sanad yang sama kecuali
pada tingkatan yang pertama ‘Abdullah ibnu Mahmud untuk Al Bukhari dan Muslim
dengan sanad Abdullah ibnu Humaid dan Ubaidillah ibnu Said. Sedangkan assanad
yang lain adalah : Abu Amir, Sulaiman ibnu Hilal, Abdullah ibnu Dinar Abu
Shalih dan Abu Hurairah.
b.
Gharib nisbi yaitu keghariban terletak pada sifat atau keadaannya
bukan dalam kapasitas jumlah periwayatnya. Keganjilan tersebut dapat terjadi
dalam hal keadilan dan kedhabitan. Contoh :
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh rawi yang kredibel, namun ada rawi yang dilemahkan
yaitu Ibnu Al Lahi’ah. Kemungkinan lain dilihat dari sisi tempat tinggalnya
misalnya dari Basrah saja seperti hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud :
3. Hadits gharib
dari sisi sanad dan matan.
Hadits gharib belum tentu bernilai dha’if, namun
ada yang shahih juga. Terhadap kehujjahan hadits ahad ulama berbeda pendapat
ada yang mengatakan qot’i ada yang dzanni al wurud atau dalalahnya.
No comments:
Post a Comment