. Pengertian ibadah
Mahdhah
Secara bahasa, ibadah berasal dari
bahasa arab dari kata
Yang berarti
taat, tunduk, mengikuti.
Pengertian
ibadah secara istilah
1. Menurut
Ahli Kalam
Mengesakan
Allah mengagungkan-Nya secara sungguh-sungguh serta merendahkan diri
kepada-Nya.
2. Menurut
Ahli Tasawuf
Pekerjaan
yang dilakukan oleh orang yang cakap (mukallaf) dalam rangka menentang
keinginan hawa nafsu dan mengagungkan Tuhannya.
3. Menurut
Ahli Fiqh
Apa yang
dikerjakan untuk mendatangkan keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di
akhirat.
Dari beberapa pengertian ibadah
diatas dapat disimpulkan 2 unsur ibadah yang sangat fundamental:
Pertama, Mengikat diri dengan
syari'at Allah yang diserukan oleh para Rasul-Nya, meliputi perintah, larangan,
halal, haram sebagai wujud ketundukan dan ketaatan kepada Allahh.
Kedua, Ketaatan dan ketundukan
harus tumbuh dari kecintaan hati kepada Allah, karena Dia-lah yang paling
berhak dicintai dan disembah sehubungan ni'mat yang telah diberikan-Nya.
Adapun pengertian ibadah Mahdhah,
ialah ibadah yang ketentuannya telah diatur oleh Nash seperti ibadah
Shalat, Zakat, Puasa dan Haji.
Disini kita
akan membahas berkaitan dengan Hadist tentang ibadah Mahdhah (shalat, zakat,
puasa, haji) beserta keterangan dan kandungan hukum hadist didalamnya.
HADIST
TENTANG IBADAH MAHDHAH
1.Hadist tentang Puasa
Dari
shilah, ia berkata : “Kami pernah berada disisi Ammar pada hari yang diragukan
(munculnya awal Ramadhan ). Kemudian ia dibawakan daging kambing lalu beberapa orang yang saat
itu ada menyingkir. Ammar berkata, 'Barangsiapa yang berpuasa pada hari ini
berarti ia telah mendurhakai Abu Qasim (Rasulullah) SAW. (Hadist Shahih
diriwayatkan oleh 4 imam)
Kandungan
Hukum Hadist:
Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari
mengatakan , “Hadist ini dijadikan dalil atas diharamkan berpuasa pada hari
syak (hari yang diragukan). Sebab seorang sahabat tidak akan mengatakan
keputusan dari pendapatnya sendiri, pasti apa yang dikatakannya itu sifatnya
Marfu' ( dari Rasulullah)”.
Ibn Abdul Bar mengomentari , “Hadist
ini adalah Hadist Musannad dikalangan Ahli Hadist, mereka tidak berbeda
pandangan tentang hal itu”.
Tirmidzi mengatakan, “Hadist ini
diamalka oleh kebanyakan Ahli ilmu dari Sahabat Rasulullah SAW dan dari
kalangan Tabi'in.
Syafi'i, Ahmad dan Ishaq memakruhkan
seseorang untuk berpuasa pada hari syak, mereka berpendapat jika puasa tetap
dikerjakan pada hari itu kemudian diketahui bahwa hari itu telah masuk bulan
Ramadhan, yang melakukannya tetap harus mengqadha' satu hari sebagai ganti
puasa Ramadhannya.
“Dari
Hafshah istri Rasulullah SAW, bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa tidak
berniat berpuasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”.
(Hadist
Shahih, diriwayatkan oleh 4 imam)
Kandungan
Hukum Hadist:
1.
Tidak sah puasa seseorang yang
tidak meniatkannya dari malam hari
2.
Meniatkan puasa dimalam hari
sebelum terbit fajar, sedangkan puasa sunnah sah dengan niat di siang hari.
3.
Niat adalah maksud dan kemauan
keras untuk mengerjakan sesuatu dan tempatnya adalah dimalam hari, sedangkan
niat yag ragu-ragu masih dianggap sah.
Dari Anas bin Malik RA, ia
berkata “seorang laki-laki dari bani Ka'ab berkata : “kuda Rasulullah SAW
perang menyerang kami, kemudian kudatangi
beliau tengah makan siang lalu beliau bersabda “ Kemarilah dan makanlah”,
Aku menjawab “Aku sedang berpuasa”. Maka beliau bersabda, “Mendekatlah, akan
kuberitakan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Allah melepaskan dari seorang
musafir itu kewajiban berpuasa dan
sebagian shalat. Juga (melepaskan kewajiban) puasa dari wanita hamil /
menyusui.
(Hadist shahih, diriwayatkan
dari 4 imam)
Kandungan Hukum Hadist:
1.
Seorang musafir diperbolehkan
untuk tidak berpuasa dan boleh juga berpuasa
2.
Wanita hamil jika khawatir
terhadap kandungannya atau wanita menyusui yang khawatir akan kesehatan
anaknya, mereka boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makan
seorang fakir miskin bagi puasa yang ditinggalkannya.
2. Hadist tentang Zakat
Dari Ali bin Abi Thalib RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda , “Aku telah menghapuskan zakat
kuda dan budak. Maka keluarkan zakat perak satu dirham setiap 40 dirham. Dan
tidak ada kewajiban zakat pada 190 (dirham). Namun bila ia telah mencapai 200
(dirham), maka harus dikeluarkan padanya 5 dirham (untuk zakat).
(Hadist
shahih, diriwayatkan oleh 4 imam).
Kandungan
Hukum Hadist:
1.
Para ulama menilai bahwa tidak
ada kewajiban zakat terhadap perak sehingga mencapai batas 200 dirham keping
perak murni dan tidak ada zakat pada emas hingga mencapai 20 mitsqal (timbangan
Makkah)
2.
Gugurnya kewajiban zakat
terhadap kuda dan budak apabila dipergunakan sebagai tunggangan atau untuk
pelayanan.
Dari Mu'adz
bin Jabal RA ia berkata, “Aku diutus oleh Nabi SAW ke Yaman kemudian
memerintahkanmu untuk mengambil (zakat) satu ekor sapi berumur satu tahun
(Tabi') dari 30 ekor sapi dan 1 ekor sapi berumur 2 tahun (musinnah) dari 40
ekor sapi dan 1 dinar atau yang seharga dengan kain ma'afir (pakaian khas
Yaman) dari setiap orang dewasa”.
Kandungan
Hukum Hadist:
1.
Ungkapan “Dari setiap orang
dewasa 1 dinar”, Al-Baghawi menilainya bukan sebagai zakat, maksudnya adalah
Jizyah (pajak kepala) yang dipungut dari Ahlud dzimmah (Non muslim yang berada
dibawah pemerintahan islam)
2.
Hadist diatas merupakan dalil
tentang kewajiban zakat terhadap sapi dan nishabnya seperti yang disebutkan
diatas.
3.
Syarat zakat hewan, hewan
digembala secara bebas (tanpa beban atau kesulitan) serta tidak mendatangkan
kerugian.
Dari
Abdullah bin Mas'ud RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang
meminta-minta kepada orang lain sedangkan ia memiliki sesuatu yang
mencukupinya, maka pada hari kiamat ia akan datang dengan permintaan yang
berbekas di wajahnya seperti khumusy, khudusy, atau kuduh. Lalu ada seseorang
yang bertanya, “wahai Rasulullah apakah sesuatu yang mencukupi orang itu?
Beliau menjawab, “50 dirham atau emas yang setara dengan nilainya”.
Makna
Khudusy: terkelupasnya kulit karena tergores tongkat, Khumusy adalah terkelupas
karena kuku (cakaran) dan Kuduh adalah luka bekas gigitan.
3. Hadist
tentang Haji
Dari Abu
Razin dari kalangan Bani Amir ia bertanya, “wahai Rasulullah sesungguhnya
bapakku
seorang yang lanjut usia, tidak bisa mengerjakan Haji dan Umrah, dan tidak pula
sanggup melakukan perjalanan. Beliau menjawab, “Berhajilah untuk menggantikan
bapakmu dan umrahlah”.
Kandungan
Hukum Hadist:
1.
Boleh untuk menghajikan orang
lain (badal haji), jumhur ulama mengkhususkan bagi orang yang sudah pernah
mengerjakan Haji untuk dirinya sendiri.
2.
Hadist tersebut dijadikan dalil
bagi orang yang berpendapat akan wajibnya umrah.
Dari
Saib bin Khallad dari bapaknya,
Rasulullah SAW bersabda, “Aku didatangi oleh Jibril, kemudian ia menyuruhku
agar memerintahkan para sahabatku mengeraskan suara mereka dalam mengucapkan
tahlil dan talbiah”.
(Hadist
Shahih, diriwayatkan oleh 4 imam)
Kandungan
Hukum Hadist:
1.
Disebutkan dalam At-Tuhfah,
“Hadist tersebut menunjukan disunahkannya mengeraskan suara ketika mengucapkan
talbiah menurut mayoritas ulama.
2.
Asy-Syaukani dalam Nail
Al-Authar menuturkan, “Abu Daud menilai bahwa mengeraskan suara dalam
bertalbiyah hukumnya wajib. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya “Haji
yang paling afdhal adalah al 'ajj (bersuara keras dalam bertalbiyah) dan tsajj
(dipotongnya hewan kurban dalam haji)”.
3.
Para wanita hendaknya
mengeraskan suara mereka selama tidak khawatir terjadinya fitnah, juga karena
Aisyah RA telah mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah hingga di dengar oleh laki-laki.
Dari Katsir
bin Jumhan, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Umar diantara
Shafa dan Marwa, “Wahai Abu Abdurrahman, mengapa aku melihatmu berjalan
sedangkan orang-orang berlari kecil-kecil? Ia menjawab, “Aku berjalan karena
Aku telah melihat Rasulullah SAW melakukannya dan Aku juga seorang lelaki tua.
(Hadist
shahih, diriwayatkan oleh 4 imam)
Kandungan
Hukum Hadist:
Asy-Syaukani
mengatakan, “Disunahkannya sa'i (berlari-lari kecil) diantara Safa dan
Marwa, kemudian berjalan biasa pada jarak yang tersisa hingga mencapai Marwa.
Dari
Abdurrahman bin Ya'mar Ad-Dili ia berkata, “Aku datang kepada Nabi SAW ketika
beliau berada di Arafah, kemudian orang-orang atau sekelompok orang dari
penduduk Najed pun datang, maka mereka memerintahkan seorang lelaki untuk
bertanya kepada Rasulullah SAW, “Bagaimana cara berhaji?” Maka Rasulullah SAW memerintahkan
seorang lelaki menyerukan untuk berhaji, “Haji itu adalah Arafah.
Barangsiapa yang datang sebelum tiba waktu shalat Shubuh dari malam
berkumpul(mabit), maka hendaknya ia menyempurnakan hajinya selama tiga hari di
Mina. Namun barangsiapa yang menyegerakannya dalam dua hari, maka tidak ada
dosa baginya”.
(Hadist
Shahih, diriwayatkan oleh 4 imam)
Kandungan
Hukum Hadist:
1.
Al hajju 'arafah (haji itu adalah
Arafah): Haji yang benar adalah hajinya orang yang mendapatkan hari Arafah.
Dari hadist Abdurrahman bin Ya'mar adalah barangsiapa tidak melaksanakan
wuquf di Arafahsebelum terbit fajar, maka ia telah ketinggalan haji dan
hajinya tidak sah jika ia datang setelah fajar. Ia hendaknya menjadikan
ibadahnya sebagai umrah saja, dan ia wajib mengerjakan haji pada kesempatan
mendatang. Ini adalah pendapat Syafi'i, Ahmad, dan Ishaq.
2.
Man ja'a lailata jam'in (barangsiapa yang tiba
pada malam berkumpul): malam mabit(bermalam) di muzdalifah, yaitu malam
id Adha sebelum terbit fajar (fajar hari Nahar atau hari raya kurban).
Barangsiapa datang di Arafah dan wuquf disana pada malam hari sebelum terbit
fajar, maka ia telah mendapatkan hajinya.
3.
Wuquf dapat dilakukan dibagian
manapun dari padang Arafah, sekalipun hanya sebentar dari waktu yang telah
ditentukan (ini pendapat jumhur ulama)
4.
Ayyamu mina tsalatsah (hari-hari di Mina itu
3 hari): yaitu hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) itulah hari
melontar jumrah
Dari Yazid
bin Syaiban ia berkata, “Kami wukuf di Arafah pada tempat yang jauh dari
tempat wukuf Nabi SAW. Kemudian Ibnu Mirba' Al Anshari mendatangi kami
dan berkata, “Aku adalah utusan Rasulullah SAWkepada kalian”. Beliau bersabda, “Tetaplah
kalian berada di masya'ir kalian, karena kalian tengah berada pada salah satu
warisan dari warisan bapak moyang kalian Ibrahim AS.”
(Hadist
Shahih, diriwayatkan oleh 4 imam).
Al
Masya'ir:
bentuk jama' dari kata masy'ar yakni temapt melaksanakan ibadah haji.
Kandungan
Hukum Hadist:
Semua bagian padang Arafah adalah
tempat wukuf , dan orang yang wukuf dibagian manapun dari Arafah berarti
ia telah melakukan Sunnah Rasul, sekalipun mereka berwukuf jauh dari wukuf
Rasulullah SAW.
Dari Abu Al
Baddah bin 'Ashim dari bapaknya berkata, “Rasullullah SAW memberi keringanan
dalam urusan bermalam bagi para penggembala untuk melontar pada hari Nahar dan
menggabungkan lontaran 2 hari setelah hari Nahar dengan melontarkannya pada
salah satu dari kedua hari tersebut.
1.
Boleh melontar jumrah pada hari
pertama dari hari-hari tasyriq, mereka (penggembala) kembali menjaga onta-onta
gembala mereka, mereka dapat bermalam disana dan meninggalkan hari nahar
pertama untuk kembali lagi pada hari ketiganya kemudian boleh melontar jumrah
yang tertingggal di hari kedua bersama dengan lontaran mereka dihari ketiga.
2.
Orang yang memiliki udzur yang
menyerupai udzur yang diberikan keringanan oleh Rasullullah SAW boleh untuk
tidak melakukan mabit. (pendapat jumhur ulama).
Misal:
keringanan bagi petugas siqayah (penyalur air untuk jemaah haji) dan
penggembala onta.
Dari Al
Hajjaj bin Amr Al Anshari ia berkata, “Aku mendengar Rasullullah SAW bersabda, “Barangsiapa
mengalami patah tulang atau menjadi pincang, maka ia boleh tahallul dan ia
wajib mengerjakan haji pada waktu lainnya.” kemudian aku menceritakan hal
itu kepada Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mereka mengatakan, “Hadist itu benar”.
Kandungan
Hukum Hadist:
Konteks tersebut berlaku bagi orang
yang berhaji dengan haji fardhu.(pendapat Malik dan Syafi'i.
Abu Hanifah dan para pengikutnya
berpendapat bahwa wajib mengulangi haji dan umrahnya. Sedangkan pendapat yang
dinukil dari Mujahid dan Ikrimah wajib untuk melaksanakan haji pada kesempatan
berikutnya”.
DAFTAR
PUSTAKA
Ulfah, isratin.2009.Fiqih
Ibadah.Yogyakarta:Nadi offset.
Muhammad.2006.Kumpulan
Hadits yang Disepakati 4 Imam.Jakarta:Buku Islam Rahmatan
No comments:
Post a Comment