Hadist Ditinjau Dari
Kualitasnya :
Sahih, Hasan dan Da’if
Berdasarkan
fungsinya, hadis dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu hadis yang
diterima (magbul), yaitu hadis sahih dan hadis yang ditolak (mardud)
yaitu hadis da’if. Di antara ulama
ahli hadis ada yang membagi hadis dalam tiga bagian, yaitu sahih hasan dan da’if.
Oleh karena itu, setiap hadis yang ada tidak pernah lepas dari pengelompokan
kualitas periwayatnya dari ketiga bentuk hadis tersebut.
Di
antara ulama ternyata masih memperselisihkan nilai kehujjahan hadis hasan. Apakah hadis hasan tersebut masuk dalam kedua kategori pembagian hadis di atas.
Pendapat pertama, memaknai hadis hasan
masuk salah satu dari criteria sahih
dan da’if Al-Zahabi yang mengutip
pendapat al-Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa hadis hasan masuk dalam kategori hadis sahih ada kalanya ulama memasukkan hadis hasan ke dalam kategori da’if
yang tidak dapat begitu saja diamalkan. Namun, menurut Ahmad ibn Hanbal
pemakaian hadis da’if termasuk
diperbolehkan dan tidak baik ketimbang qiyas
(dalil analogi). Pendapat kedua menyatakan bahwa hasan adalah otonom, tidak termasuk hadis sahih dan tidak termasuk hadis hasan tetapi nilainya lebih baik ketimbang
hadis da’if. Adapun hadis mandu (upaya mengada-adakan) tentang
Rasulullah saw. atau sahabat atau tabi’in) tidak masuk dalam pembagian
tersebut, hal tersebut dikarenakan hadis mandu
tidak masuk dalam kategori hadis karena diada-adakan.
Pembagian
atas ketiga hal hadis tersebut sangat banyak sekali. Ada pembagian hadis
berdasarkan ketiga hal tersebut secara mandiri yakni berinduk kepada hadis sahih hasan dan da’if. Demikian juga ada yang mengelom-pokkannya secara bersamaan.
Di antara ulama ada yang menyebutkan sebagai suatu ilmu khusus dan ada juga
yang menilainya hanya sebagai jenis atau cabang dari keilmuan. Jumlah ragam
keilmuan atau hal yang terkait dengannya banyak sekali dan tidak terhitung
lagi. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau al-Hazimi mengatakan bahwa
jumlahnya mencapai ratusan dan masing-masing jenis merupakan ilmu tersendiri.
Apabila seorang belajar ilmu tersebut
,maka tidak akan dapat menghabiskan untuk belajarnya sampai di akhir
hidupnya karena begitu banyaknya jenis dan ragam yang harus dikajinya. Ibn
Salah sorang ahli hadis terkemuka memberikan hitungan keilmuan yang menyangkut
problema hadis tersebut dalam
hitungan 65 buah. Namun sekali lagi
jumlah tersebut menurutnya bukan jumlah maksimal dan
dapat lebih banyak dari jumlah tersebut.
a.
Hadis
Sahih
Secara
bahasa berarti selamat dari penyakit, dan bebas dari aib. Menurut
Ibn Salah bahwa yang dimaksud dengan hadis sahih
adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang
adil dan dabit dari awal hingga akhir sanadnya serta tidak ada syaz dan tidak ada ‘illat.
Sedangkan Subhi al-Salih memberikan
pengertian hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip
oleh periwayat yang adil dan cermat dari orang yang sama sampai berakhir pada
Rasulullah saw. atau kepada sahabat dan tabi’in bukan hadis yang syaz (kontroversial) dan tidak ada i’llat.
Pengertian
diatas diringkas oleh Imam al-Nawawi, hadits sahih adalah hadits yang sanadnya
bersambung, adil, dabit, tidak ada syaz
dan tidak ada ‘illat.
Dari
beberapa istilah tersebut dapat dikatakan bahwa hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat
yang adil dan dabit sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan dan
kecacatan (syaz dan ‘illat).
Contoh :
Diceritakan
dari Ubaidillah ibn Musa berkata telah memberitahukan kepada kami Hundalah ibn
Abi Sufyan dari Ikrimah ibn Khalid dari Ibn Umar ra. Berkata, Rasulullah saw.
bersabda Islam dibangun atas lima sendi dasar, yaitu kesaksian tidak ada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah yang dikenal dengan syahadat,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji dan puasa di bulan Ramadhan (HR.
al-Bukhari)
Dari penjelasan dan contoh diatas,
dapat diperoleh syarat hadis sahih
adalah : Pertama, Seluruh
sanadnya bersambung (musnad),
masing-masing periwayat yang terlibat dalam kegiatan transmisi hadis harus
mendengar langsung dari periwayat sebelumnya atau gurunya. Hadis semacam ini
disebut juga dengan hadis yang muttasil
atau mausul dengan demikian, hadis
mursal tidak dapat dikatakan sebagai hadis sahih,
karena sanadnya tidak bersambung dan karenanya masuk dalam kategori hadis da’if. Hal senada juga dapat dibelakukan
atas hadis munqati hadis yang
sanadnya terputus atau salah satu nama periwayatnya tidak jelas alias samar.
Kedua,
Periwayat yang terlibat dalam periwayat hadis harus adil. Istilah adil disini merupakan istilah khusus dalam ilmu hadis.
Periwayat yang dikatakan ‘adil karena
memiliki criteria persyaratan :
1) Beragama
Islam,
2) Mukallaf,
3) Melaksanakan
ketentuan agama,
4) Memelihata
muru’ah
Untuk menentukan suatu periwayat
apakah dapat dikatakan ‘adil atau
tidak adalah dengan cara :
1) Popularitas
keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis
2) Penilaian
kritikus hadis baik berupa kelebihan maupun kekurangan periwayat hadis
3) Penerapan
kaedah jarh wa ta’dil, jika kritikus berselisih pendapat tentang keadaan
periwayat hadis.
Ketiga,
Diriwayatkan atas periwayat yang dabit. Istilah dabit
menurut ulama bermacam-macam. Al-Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa yang
dimaksud periwayat yang dabit adalah
periwayat yang kuat hafalannya atas apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan
apa yang dihafalnya dengan baik kapan saja dan di mana saja ketika hendak
menyampaikan hadis. Di antara ulama ada yang memberikan definisi dabit adalah orang yang mendengarkan
pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami arti pembicaraan tersebut
secara benar kemudian menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan sampai berhasil
menghafal secara sempurna dan mampu menyampaikan apa yang dihafalnya dengan
baik. Dari arti tersebut maka dapat dikatakan butir-butir yang harus ada pada
periwayat yang dabit adalah :
1)
Periwayat tersebut memahami dengan baik terhadap
riwayat yang ia dengarkannya (diterimanya)
2)
Periwayat tersebut mampu menyampaikan dengan baik
kembali apa yang dipahami dan dihafal dari riwayat yang ia dengarkannya
(diterimanya) di waktu kapan saja dia menghendakinya dan sampai dia menyampaikan
periwayatannya kepada orang lain.
Adapun
cara yang digunakan dalam menentukan ke dabit-an
periwayat hadis adalah :
1)
Berdasarkan kesaksian ulama
2)
Kesesuaian riwayatnya dengan periwayat lain yang telah
diketahui kedabitannya. Upaya ini hanya sampai pada penelusuran ke tingkat
makna atau hanya secara harfiyah.
3)
Jika periwayat sesekali terjadi kesalahan atas yang
diriwayatnya maka hal tersebut tidak menjadi persoalan namun jika kesalahan
tersebut berulang kali, maka yang bersangkutan tidak dapat dikategorikan dalam
periwayat yang dabit.
Keempat,
tidak terdapat adanya syaz. Secara kebahasaan,
kebahasaan syaz berarti jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi
orang banyak. Adapun secara istilah berbeda pendapat tentang pengertian syaz. Ada tiga pendapat tentang hal ini
:
1) Menurut
Iman al-Syafi’I hadis dinyatakan tidak mempunyai syaz jika diriwayatkan oleh
periwayat yang siqat sedangkan periwayat yang siqat lainnya tidak
meriwayatkannya. Baru suatu hadis dinyatakan syaz ketika hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat yang siqat namun bertentangan dengan kebanyakan
periwayat lainnya yang juga kapasitasnya siqat.
2) Menurut
al-Hakim adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat tetapi tidak ada periwayat yang siqat lainnya dalam meriwayatkan hadis.
Penelitian
atas syaz ini sangat sulit. Hal
tersebut diakui oleh ulama hadis. Kegiatan penelitian atas hadis yang
mengandung syaz lebih rumit harus
menyertakan sanad lain.
Kelima, tidak terdapat adanya ‘illat.
Secara bahasa berarti cacat atau kesalahan baca, penyakit, dan keburukan.
Menurut istilah hadis, sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas
hadis, bentuk-bentuk adanya ‘illat
dalam suatu hadis dapat berupa :
1)
Sanad yang tampat muttasil
dan marfu’ akan tetapi muttasil dan mawquf.
2)
Sanad yang tempat muttasil
dan marfu’ akan tetapi muttasil dan mursal.
3)
Terjadi pencampuran hadis dengan hadis yang lain
4)
Terjadi kesalahan penyebutan periwayat karena ada
kemiripan nama periwayat sedangkan kualitasnya tidak siqat.
Dari syarat-syarat tersebut di atas dapat ditingkat
sebagai berikut :
Kaedah Mayor
|
Kaidah Minor
|
1.
Sanadnya bersambung
|
Muttasil
Marfu’
|
2.
Periwayat bersifat ‘adil
|
1.
Beragama Islam
2.
Mukallaf
3.
Melaksanakan ketentuan agama
4.
Menjaga muru’ah
|
3.
Periwayat bersifat dabit
|
1.
Hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya
2.
Mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafalnya
kepada orang lain tanpa kesalahan
|
4.
Terhindar dari Syaz
|
Riwasan seorang periwayat yang siqat tidak
bertentangan dengan periwayat yang siqat lainnya
|
5.
Terhindar dari ‘illat
|
Tidak terjadi :
1.
Periwayat yang tidak siqat dinilai siqat
2.
Sanad yang terputus dinilai bersambung
|
b. Hadis Hasan
Secara
bahasa dari kata khasuna- yakhsunu yang berarti yang baik atau yang bagus. Dalam
terminologi hadis adalah
Dengan demikian, hadis hasan sama dengan hadis sahih
(semua syarat terpenuhi), namun hanya terdapat kekurangan adanya kelemahan daya
hafalan (tidak terlalu kuat).
Berdasarkan pengertian tersebut,
maka hadis hasan kerusakannya tidak
parah dalam artian bias menggugurkan hadis, bias jadi kerusakan tersebut dijaga
oleh periwayatnya dengan aktif memelihara hadis dengan cara mencatat. Oleh
karena itu, ulama memberikan justifikasi boleh dalam berhujjah dengan hadis hasan. Sumber hadis hasan dapat diperoleh dalam kitab-kitab hadis yang disebut sebagai
sumber hadis sahih.
Pembagian hadis hasan lizatih hadis hasan dengan sendirinya (seperti di atas) dan hasan ligairib, hadis yang di dalam sanadnya tidak diketahui
keadaannya, tidak dapat dipastikan kelayakannya. Namun ia tidak termasuk orang
yang banyak berbuat salah dan tidak dituduh berdusta. Dengan demikian, hasan ligairih adalah hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat yang da’if
namun da’if-nya tidak disebabkan oleh
banyak kesalahan, tidak bersifat fasiq, dan hadis tersebut diriwayatkan oleh
periwayat lain dari guru periwayat tadi atau yang lebih tinggi darinya
berdasarkan lafal maupun maknanya. Ulama yang pertama kali memperkenalkan hadis
hasan adalah al-Tirmizi.
c. Hadis Da’if
Hadis
yang di dalamnya tidak terdapat ciri ke-sahih-an
dan ke-hasan-an. Di dalamnya
terdapat : periwayat pendusta atau tertuduh dusta, banyak membuat
kekeliruan, suka pelupa, suka maksiat dan fisik, banyak angan-angan, menyalahi
periwayat kepercayaan, periwayatnya tidak dikenal, menyalahi periwayat
kepercayaan, periwayatnya tidak dikenal, penganut bid’ah dan tidak baik
hafalannya. Di kalangan ulama masih memperselisihkan jumlah bentuk hadis da’if. Di antara ulama ada yang
mengklasifikasikan menjadi 381 bentuk. Namun, Ibn Shalah berpendapat jumlahnya
tidak sampai lebih dari 42 bentuk. 52 karena kelemahan tersebut, maka da’if
tidak dapat diterima dan diamalkan.
Pembagian hadis da’if
menurut ulama membagi menjadi berbagai macam tergantung di mana letak
kelemahannya. Kelemahan tersebut bisa terjadi dalam lima hal, sebagaimana telah
disebutkan di atas sebagai salah satu syarat hadis sahih. Berikut ini diagram macam-macam hadis da’if berikut letak kelemahannya yang dihimpun dari berbagai kitab ’Ulum al-Hadis.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment