Sunday, November 4, 2012

Hadist Ditinjau Dari Kualitasnya


Hadist Ditinjau Dari Kualitasnya :
Sahih, Hasan dan Da’if
Berdasarkan fungsinya, hadis dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu hadis yang diterima (magbul), yaitu hadis sahih dan hadis yang ditolak (mardud) yaitu hadis da’if. Di antara ulama ahli hadis ada yang membagi hadis dalam tiga bagian, yaitu sahih hasan dan da’if. Oleh karena itu, setiap hadis yang ada tidak pernah lepas dari pengelompokan kualitas periwayatnya dari ketiga bentuk hadis tersebut.
Di antara ulama ternyata masih memperselisihkan nilai kehujjahan hadis hasan. Apakah hadis hasan tersebut masuk dalam kedua kategori pembagian hadis di atas. Pendapat pertama, memaknai hadis hasan masuk salah satu dari criteria sahih dan da’if Al-Zahabi yang mengutip pendapat al-Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa hadis hasan masuk dalam kategori hadis sahih ada kalanya ulama memasukkan hadis hasan ke dalam kategori da’if yang tidak dapat begitu saja diamalkan. Namun, menurut Ahmad ibn Hanbal pemakaian hadis da’if termasuk diperbolehkan dan tidak baik ketimbang qiyas (dalil analogi). Pendapat kedua menyatakan bahwa hasan adalah otonom, tidak termasuk hadis sahih dan tidak termasuk hadis  hasan tetapi nilainya lebih baik ketimbang hadis da’if. Adapun hadis mandu (upaya mengada-adakan) tentang Rasulullah saw. atau sahabat atau tabi’in) tidak masuk dalam pembagian tersebut, hal tersebut dikarenakan hadis mandu tidak masuk dalam kategori hadis karena diada-adakan.
Pembagian atas ketiga hal hadis tersebut sangat banyak sekali. Ada pembagian hadis berdasarkan ketiga hal tersebut secara mandiri yakni berinduk kepada hadis sahih hasan dan da’if. Demikian juga ada yang mengelom-pokkannya secara bersamaan. Di antara ulama ada yang menyebutkan sebagai suatu ilmu khusus dan ada juga yang menilainya hanya sebagai jenis atau cabang dari keilmuan. Jumlah ragam keilmuan atau hal yang terkait dengannya banyak sekali dan tidak terhitung lagi. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau al-Hazimi mengatakan bahwa jumlahnya mencapai ratusan dan masing-masing jenis merupakan ilmu tersendiri. Apabila seorang belajar ilmu tersebut ,maka tidak akan dapat menghabiskan untuk belajarnya sampai di akhir hidupnya karena begitu banyaknya jenis dan ragam yang harus dikajinya. Ibn Salah sorang ahli hadis terkemuka memberikan hitungan keilmuan yang menyangkut problema hadis tersebut dalam hitungan 65 buah. Namun sekali lagi  jumlah tersebut menurutnya bukan jumlah maksimal dan dapat lebih banyak dari jumlah tersebut.
a.    Hadis Sahih
Secara bahasa berarti selamat dari penyakit, dan bebas dari aib. Menurut Ibn Salah bahwa yang dimaksud dengan hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit dari awal hingga akhir sanadnya serta tidak ada syaz dan tidak ada ‘illat.
Sedangkan Subhi al-Salih memberikan pengertian hadis sahih  adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh periwayat yang adil dan cermat dari orang yang sama sampai berakhir pada Rasulullah saw. atau kepada sahabat dan tabi’in bukan hadis yang syaz (kontroversial) dan tidak ada i’llat.
Pengertian diatas diringkas oleh Imam al-Nawawi, hadits sahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, adil, dabit, tidak ada syaz dan tidak ada ‘illat.
Dari beberapa istilah tersebut dapat dikatakan bahwa hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan dan kecacatan (syaz dan ‘illat).
Contoh :
Diceritakan dari Ubaidillah ibn Musa berkata telah memberitahukan kepada kami Hundalah ibn Abi Sufyan dari Ikrimah ibn Khalid dari Ibn Umar ra. Berkata, Rasulullah saw. bersabda Islam dibangun atas lima sendi dasar, yaitu kesaksian tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah yang dikenal dengan syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji dan puasa di bulan Ramadhan (HR. al-Bukhari)
Dari penjelasan dan contoh diatas, dapat diperoleh syarat hadis sahih adalah : Pertama, Seluruh sanadnya bersambung (musnad), masing-masing periwayat yang terlibat dalam kegiatan transmisi hadis harus mendengar langsung dari periwayat sebelumnya atau gurunya. Hadis semacam ini disebut juga dengan hadis yang muttasil atau mausul dengan demikian, hadis mursal tidak dapat dikatakan sebagai hadis sahih, karena sanadnya tidak bersambung dan karenanya masuk dalam kategori hadis da’if. Hal senada juga dapat dibelakukan atas hadis munqati hadis yang sanadnya terputus atau salah satu nama periwayatnya tidak jelas alias samar.
Kedua, Periwayat yang terlibat dalam periwayat hadis harus adil. Istilah adil disini merupakan istilah khusus dalam ilmu hadis. Periwayat yang dikatakan ‘adil karena memiliki criteria persyaratan :
1)   Beragama Islam,
2)   Mukallaf,
3)   Melaksanakan ketentuan agama,
4)   Memelihata muru’ah
Untuk menentukan suatu periwayat apakah dapat dikatakan ‘adil atau tidak adalah dengan cara :
1)   Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis
2)   Penilaian kritikus hadis baik berupa kelebihan maupun kekurangan periwayat hadis
3)   Penerapan kaedah jarh wa ta’dil, jika kritikus berselisih pendapat tentang keadaan periwayat hadis.
Ketiga, Diriwayatkan atas periwayat yang dabit. Istilah dabit menurut ulama bermacam-macam. Al-Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa yang dimaksud periwayat yang dabit adalah periwayat yang kuat hafalannya atas apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan apa yang dihafalnya dengan baik kapan saja dan di mana saja ketika hendak menyampaikan hadis. Di antara ulama ada yang memberikan definisi dabit adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami arti pembicaraan tersebut secara benar kemudian menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan sampai berhasil menghafal secara sempurna dan mampu menyampaikan apa yang dihafalnya dengan baik. Dari arti tersebut maka dapat dikatakan butir-butir yang harus ada pada periwayat yang dabit adalah :
1)   Periwayat tersebut memahami dengan baik terhadap riwayat yang ia dengarkannya (diterimanya)
2)   Periwayat tersebut mampu menyampaikan dengan baik kembali apa yang dipahami dan dihafal dari riwayat yang ia dengarkannya (diterimanya) di waktu kapan saja dia menghendakinya dan sampai dia menyampaikan periwayatannya kepada orang lain.
Adapun cara yang digunakan dalam menentukan ke dabit-an periwayat hadis adalah :
1)   Berdasarkan kesaksian ulama
2)   Kesesuaian riwayatnya dengan periwayat lain yang telah diketahui kedabitannya. Upaya ini hanya sampai pada penelusuran ke tingkat makna atau hanya secara harfiyah.
3)   Jika periwayat sesekali terjadi kesalahan atas yang diriwayatnya maka hal tersebut tidak menjadi persoalan namun jika kesalahan tersebut berulang kali, maka yang bersangkutan tidak dapat dikategorikan dalam periwayat yang dabit.
Keempat, tidak terdapat adanya syaz. Secara kebahasaan, kebahasaan syaz berarti jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi orang banyak. Adapun secara istilah berbeda pendapat tentang pengertian syaz. Ada tiga pendapat tentang hal ini :
1)   Menurut Iman al-Syafi’I hadis dinyatakan tidak mempunyai syaz jika diriwayatkan oleh periwayat yang siqat sedangkan periwayat yang siqat lainnya tidak meriwayatkannya. Baru suatu hadis dinyatakan syaz ketika hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang siqat namun bertentangan dengan kebanyakan periwayat lainnya yang juga kapasitasnya siqat.
2)   Menurut al-Hakim adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat tetapi tidak ada periwayat yang siqat lainnya dalam meriwayatkan hadis.
Penelitian atas syaz ini sangat sulit. Hal tersebut diakui oleh ulama hadis. Kegiatan penelitian atas hadis yang mengandung syaz lebih rumit harus menyertakan sanad lain.
Kelima, tidak terdapat adanya illat. Secara bahasa berarti cacat atau kesalahan baca, penyakit, dan keburukan. Menurut istilah hadis, sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadis, bentuk-bentuk adanya ‘illat dalam suatu hadis dapat berupa :
1)   Sanad yang tampat muttasil dan marfu’ akan tetapi muttasil dan mawquf.
2)   Sanad yang tempat muttasil dan marfu’ akan tetapi muttasil dan mursal.
3)   Terjadi pencampuran hadis dengan hadis yang lain
4)   Terjadi kesalahan penyebutan periwayat karena ada kemiripan nama periwayat sedangkan kualitasnya tidak siqat.

Dari syarat-syarat tersebut di atas dapat ditingkat sebagai berikut :
Kaedah Mayor
Kaidah Minor
1.     Sanadnya bersambung
Muttasil
Marfu’
2.     Periwayat bersifat ‘adil
1.     Beragama Islam
2.     Mukallaf
3.     Melaksanakan ketentuan agama
4.     Menjaga muru’ah
3.     Periwayat bersifat dabit
1.     Hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya
2.     Mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafalnya kepada orang lain tanpa kesalahan
4.     Terhindar dari Syaz
Riwasan seorang periwayat yang siqat tidak bertentangan dengan periwayat yang siqat lainnya
5.     Terhindar dari ‘illat
Tidak terjadi :
1.    Periwayat yang tidak siqat dinilai siqat
2.    Sanad yang terputus dinilai bersambung

b.   Hadis Hasan
Secara bahasa dari kata khasuna- yakhsunu yang berarti yang baik atau yang bagus. Dalam terminologi hadis adalah                                                                                         
Dengan demikian, hadis hasan sama dengan hadis sahih (semua syarat terpenuhi), namun hanya terdapat kekurangan adanya kelemahan daya hafalan (tidak terlalu kuat).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka hadis hasan kerusakannya tidak parah dalam artian bias menggugurkan hadis, bias jadi kerusakan tersebut dijaga oleh periwayatnya dengan aktif memelihara hadis dengan cara mencatat. Oleh karena itu, ulama memberikan justifikasi boleh dalam berhujjah dengan hadis hasan. Sumber hadis hasan dapat diperoleh dalam kitab-kitab hadis yang disebut sebagai sumber hadis sahih.
Pembagian hadis hasan lizatih hadis hasan dengan sendirinya (seperti di atas) dan hasan ligairib, hadis yang di dalam sanadnya tidak diketahui keadaannya, tidak dapat dipastikan kelayakannya. Namun ia tidak termasuk orang yang banyak berbuat salah dan tidak dituduh berdusta. Dengan demikian, hasan ligairih adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang da’if namun da’if-nya tidak disebabkan oleh banyak kesalahan, tidak bersifat fasiq, dan hadis tersebut diriwayatkan oleh periwayat lain dari guru periwayat tadi atau yang lebih tinggi darinya berdasarkan lafal maupun maknanya. Ulama yang pertama kali memperkenalkan hadis hasan adalah al-Tirmizi.

c.    Hadis Da’if
Hadis yang di dalamnya tidak terdapat ciri ke-sahih-an dan ke-hasan-an. Di dalamnya terdapat : periwayat pendusta atau tertuduh dusta, banyak membuat kekeliruan, suka pelupa, suka maksiat dan fisik, banyak angan-angan, menyalahi periwayat kepercayaan, periwayatnya tidak dikenal, menyalahi periwayat kepercayaan, periwayatnya tidak dikenal, penganut bid’ah dan tidak baik hafalannya. Di kalangan ulama masih memperselisihkan jumlah bentuk hadis da’if. Di antara ulama ada yang mengklasifikasikan menjadi 381 bentuk. Namun, Ibn Shalah berpendapat jumlahnya tidak sampai lebih dari 42 bentuk. 52 karena kelemahan tersebut, maka da’if tidak dapat diterima dan diamalkan.
Pembagian hadis da’if menurut ulama membagi menjadi berbagai macam tergantung di mana letak kelemahannya. Kelemahan tersebut bisa terjadi dalam lima hal, sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai salah satu syarat hadis sahih. Berikut ini diagram macam-macam hadis da’if berikut letak kelemahannya yang dihimpun dari berbagai kitab ’Ulum al-Hadis.



DAFTAR PUSTAKA

Drs. Octoberrinsyah, M.Ag, dkk : Al-hadis , Yogyakarta 2005

No comments:

Post a Comment