1.
Pengertian Hadits
Hadits adalah segala
perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad
SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan
sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam
hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum dalam islam
2. Pengertian
Mu’amalah
Kata “muamalah” dalam
etimologi bahasa Arab diambil dari kata (العمل) yang merupakan kata umum untuk
semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. Kata “muamalah” dengan wazan (مُفَاعَلَة) dari kata (عامل) yang
bermakna bergaul (التَّعَامُل).
Adapun
dalam terminologi ahli fikih dan ulama syariat, kata “muamalah” digunakan untuk
sesuatu di luar ibadah, sehingga “muamalah” membahas hak-hak makhluk dan“ibadah” membahas hak-hak
Allah. Namun, mereka berselisih pendapat dalam
apa saja yang masuk dalam kategori muamalah tersebut dalam dua pendapat:
1.
Muamalah adalah pertukaran harta dan yang berhubungan dengannya, seperti
al-bai’ (jual-beli), as-salam, al-ijaarah (sewa-menyewa), syarikat (perkongsian), ar-rahn (gadai), al-kafaalah, al-wakalah
(perwakilan), dan sejenisnya. Inilah Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hambaliyah.
2.
Muamalah mencakup semua hal yang berhubungan dengan maslahat manusia dengan
selainnya, seperti perpindahan hak pemilikan dengan pembayaran atau tidak
(gratis) dan dengan transaksi pembebasan budak, kemanfaatan, dan hubungan
pasutri. Dengan demikian, muamalah mencakup
fikih pernikahan, peradilan, amanah, dan warisan. Inilah mazhab al-Hanafiyah
dan pendapat asy-Syathibi dari mazhab al-Malikiyah.
Oleh karena itu sebagian Fuqaha (ahli
fikih) membagi fikih menjadi empat kategori:
a.Fikih Ibadah
b.Fikih Muamalah
c.Fikih Munakahat (nikah)
d.Hukum-hukum kriminal dan peradilan.
b.Fikih Muamalah
c.Fikih Munakahat (nikah)
d.Hukum-hukum kriminal dan peradilan.
Dari semua penjelasan diatas tujuannya agar kita dapat memahami tema yang akan menjadi
pokok pada penulisan makalah ini, yaitu tentang hadits yang berkaitan—baik
secara ekplisit maupun implisit— amar
ma’ruf nahi munkar dan etos kerja dalam islam.
A.
PEMBAHASAN
1. Hadits
Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar
عَنْ أَبِي سَعِيْد
الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ
أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ [رواه مسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث
:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri
R.A berkata : Saya
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tangannya,
apabila tidak mampu, maka rubahlah dengan
lisannya, apabila tidak mampu
(juga) maka (tolaklah) dengan
hati dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (HR.Muslim
No.49)
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu
(mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد
من الحديث :
1. Menentang pelaku kebatilan dan menolak
kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam atas setiap muslim
sesuai kemampuan dan kekuatannya.
2. Ridho terhadap
kemaksiatan termasuk diantara dosa-dosa besar.
3. Sabar menanggung kesulitan dan amar
ma’ruf nahi munkar.
4. Amal merupakan buah dari iman, maka
menyingkirkan kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan.
5. Mengingkari dengan hati diwajibkan
kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan
berdasarkan kemampuannya.
Berikut
adalah pendapat ( fiqh-hadits)
para ulama’ dari hadits diatas :
Hadits ini adalah hadits yang jami’
(mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan
sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi
separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua:
ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar
(kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah
separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas
pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai
seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati
merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa
yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh
karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau
menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara
mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama
(mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka
yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua
(mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna
dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia
bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan
kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’
Fatawa,
7/427) Hadits
dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi
mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari
kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
- Mengingkari
dengan tangan.
- Mengingkari
dengan lisan.
- Mengingkari
dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang
mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal
ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya
dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap
bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan
mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata. Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf
dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan
dengan hati, ini paling ringan,” saya
bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?”
Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,”
dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu
beliau memisahkan di antara mereka. Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari)
dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah,
Ibnu Muflih, 1/185) Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang
merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf
dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada
kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan. Adapun
tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran-
kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap
individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang
tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa. Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di
atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh
hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan
kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus
dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini
pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
قال رجل لعبد الله بن مسعود -رضي الله عنه- :
هلك من لم يأمر بالمعروف ولم ينه عن المنكر. فقال عبد الله: بل هلك من لم يعرف
المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
Salah seorang berkata kepada
Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak
mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang
yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya
kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas
dan berkata, “Maksud
beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah
kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak
mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan
ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.”
(Jami’ul Ulum
wal Hikam 2/258-259) Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia
adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
من لم يعرف
المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan
tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577) Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa
kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan
niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
Pertama:
Mempertimbangkan antara maslahat (kebaikan) dan mafsadah (keburukan) Ini adalah
kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar
ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar
ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara
maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang
ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi
jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia
melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh
Allah Ta’ala, sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang
meninggalkan kewajiban dan melakukan yang haram. Imam
Ibnu Qoyyim berkata, “Jika mengingkari kemungkaran
menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan Rasul-Nya,
maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku kemungkaran dan
mengutuknya.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4) Oleh
karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam
bernahi mungkar berikut ini:
- Hilangnya
kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
- Berkurangnya
kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
- Digantikan
oleh kemungkaran yang serupa.
- Digantikan
oleh kemungkaran yang lebih besar.
Kedua : Karakteristikorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar
Sekalipun amar ma’ruf nahi munkar merupakan
kewajiban setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk itu sesuai dengan maratib
(tingkatan-tingkatan) di atas, akan tetapi oramg yang melakukan ini,adalah
termasuk orang yang memenuhi kriteria berikut ini :
1. Berilmu ( mengetahui agama secara integral)
2. Lemah lembut dan penyantun
3. Sabar
Ketiga : Syarat perbuatan yang wajib
diingkari
1.
Perbuatan tersebut benar suatu kemunkaran,
kecil atau besar
2.
Kemunkaran tersbut masih ada
3.
Kemunkaran tersebut nyata tanpa dimata-matai
4.
Kemungkarantersebut suatu yang telah
disepakati
Pada tingkatan pertama dan
kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad,
sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya. (Lihat, ibid, dan
Syarh Arba’in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal: 255)
2. Hadits
Yang Berkaitan Tentang Etos Kerja ( kesinergisan)
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ
تعالى عَنْهُ
قَالَ، قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:بَيْنَمَا رَجُلٌ
يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا، فَنَزَلَ
فِيهَا فَشَرِبَ، ثُمَّ
خَرَجَ، فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ، يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ، فَقَالَ
الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ
بَلَغَ بِى!، فَنَزَلَ الْبِئْر، َفَمَلأ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ،
ثُمَّ رقَى فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ
لَهُ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟
قَالَ: نَعَمْ، فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Ta’ala
‘anhu berkata: bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: Dahulu
ada seorang pemuda yang sedang dalam perjalanan ditimpa kehausan yang sangat,
kemudian ia mendapati sebuah sumur maka turunlah ia kedalamnya dan minum. Kemudian ia keluar dari sumur tersebut, dan didapatinya ada seekor
anjing yang sedang menjilat-jilat tanah dikarenakan kehausan. Berkata pemuda
itu: “sungguh anjing ini mengalami kehausan sebagaimana yang telah aku alami!”,
maka turunlah ia kembali ke dalam sumur dan memenuhi sepatu khufnya dengan air,
dan digigitnya* sepatu itu kemudian ia naik kembali dan meminumkan air itu ke
anjing tadi. Maka Allah Ta’ala bersyukur kepada pemuda itu dan mengampuni
dosa-dosanya. Mereka (yakni para
shahabat) berkata: “Ya Rasulullah, apakah dalam muamalah dengan hewan
tunggangan ada pahalanya?”, Rasulullah bersabda: “benar, muamalah dengan
setiap yang bernyawa ada pahalanya”. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
*)
digigitnya= yakni dipegang dengan giginya, karena tangannya dipakai
memanjat sumur.
·
Bolehnya
membawakan khabar-khabar dan kisah-kisah dalam rangka mengambil pelajaran.
- Perkataan
pemuda itu: !لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى
كَانَ بَلَغَ بِى, menunjukkan bahwa mengingat-ingat kenikmatan,
khususnya jika kita melihat ada orang lain yang terhalang dari nikmat
tersebut, akan membantu kita untuk mensyukuri nikmat tersebut. Dan
termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat tersebut adalah dengan
melakukan kebaikan.
- Dan
perkataan: ثُمَّ رقَى فَسَقَى الْكَلْبَ َفَمَلأ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ
بِفِيهِ, menunjukkan upaya dalam menyempurnakan amalan baik
semampunya.
- Bahwa
bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat-nikmat-Nya bisa dilakukan dengan
amalan (yakni amalan-amalan yang bisa mendatangkan ketha’atan) ataupun
dengan ucapan (yakni tahmid, dan dzikr-dzikr lainnya).
- Dan
perkataan: فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ, menunjukkan bahwa
Allah ‘Azza wa Jalla memiliki sifat syukur, dan bagian dari
asma-Nya yaitu Asy-Syakuur. Dan juga ini menunjukkan besarnya kasih sayang
dan luasnya ampunan Allah Ta’ala.
- Bahwasanya
jika hewan saja memiliki hak seperti ini, apalagi dengan manusia?!
- Tidak
bolehnya meremehkan perbuatan baik walaupun sedikit.Dan perkataan: قَالُوا:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟,
menunjukkan semangatnya para shahabat Radhiyallahu Ta’ala ‘anhum
untuk mengetahui setiap jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada
terhasilkannya pahala dari Allah Ta’ala.
- Dan
perkataan: فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ, menunjukkan
banyaknya pintu-pintu kebaikan.
- Bantahan
atas orang-orang dari lembaga-lembaga penyayang hewan yang beranggapan
bahwa islam telah menyiksa/menelantarkan hewan. Padahal sungguh agama
islam telah memerintahkan untuk menunaikan haq-haq, termasuk terhadap
hewan sekalipun. Dan bahkan secara global, islam telah menjadikan haq-haq
yang khusus bagi hewan. Diantaranya islam menjadikan penyiksaan terhadap
hewan sebagai salah satu sebab masuknya manusia ke dalam neraka,
sebagaimana menjadikan perbuatan baik kepada hewan sebagai salah satu
sebab masuknya manusia ke dalam surga.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
Ta’ala ‘anhu berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah
melihat keledai yang diracuni mukanya, maka bersabda beliau: “Semoga laknat
Allah atas orang yang melakukan hal ini!”, kemudian beliau melarang dari
perbuatan kay di wajah dan memukul di bagian wajah (dikeluarkan oleh Abu Dawud
dan Ibnu Hibban, yang asalnya dari Imam Muslim).
Dan
juga telah jelas dalam permasalahan haq-haq hewan ini, sabda Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan ihsan
(berbuat baik) dalam segala hal. Maka jika engkau membunuh, bunuhlah secara
ihsan. Dan jika menyembelih, maka sembelihlah dengan ihsan, dan hendaknya salah
seorang dari kalian menajamkan pisau-pisaunya dan menyenangkan hewan
sesembelihannya”. ( HR. al-Jama’ah, kecuali Imam Bukhari). Dan
bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Jika kalian safar
saat musim subur (dimana banyak tumbuhan dan air) maka berikanlah untuk
unta-unta kalian bagian dari bumi (yakni memberikan tunggangan kesempatan untuk
makan dan istirahat). Dan jika kalian safar
saat musim panas, maka hendaklah kalian percepat perjalanan kalian (yakni tidak
dilambat-lambatkan, sehingga akan memberatkan tunggangan)”. (HR. al-Bazaar dan Baihaqy) Dan dari
‘Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Adalah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memasuki salah satu kebun dari
kebun-kebun kepunyaan kaum anshar untuk suatu keperluan, kemudian beliau
melihat seekor unta. Ketika unta itu melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassalam, maka mendekatlah unta tersebut dan merendahkan tubuhnya di
hadapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan bercucuran air matanya.
Maka bertanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Siapa pemilik unta
ini?”, maka datanglah seorang pemuda dari kaum anshar. Maka bersabda
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Tidakkah kamu bertaqwa
kepada Allah?! Di dalam muamalah kamu dengan tungganganmu ini yang Allah Ta’ala
telah menguasakannya kepadamu? Sungguh dia telah mengeluh kepadaku bahwa engkau
telah membuatnya kelelahan dan kelaparan”. ( HR, Ahmad, Abu
Dawud dan Al-Hakim). Dan dari Mu’awiyyah bin Qurrat, dari bapaknya Radhiyallahu
Ta’ala ‘anhu berkata: Berkata seorang pemuda: “Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku menyembelih kambing dan aku menyayanginya”. Maka bersabda
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Dan kambing, jika engkau
menyayanginya, maka Allah Ta’ala akan menyayangimu.“ (dikeluarkan oleh Imam
Bukhary - dalam AlAdab AlMufrad – dan Al-Hakim). Dan
dari Abi Umamah Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam: “Barang siapa menyayangi walaupun terhadap sembelihan
seekor burung ushfuur (burung kecil berwarna kuning), maka Allah Ta’ala akan
menyayanginya di hari kiamat kelak.“ (dikeluarkan oleh Imam Bukhary - dalam
AlAdab AlMufrad – dan Thabraniy). Dan
dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Adalah kami
bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam keadaan safar.
Ketika kami bergegas karena suatu keperluan, kami melihat Al-Hummarah (burung
kecil berwarna merah) bersama kedua anaknya, kemudian kami mengambil kedua anak
burung tersebut, maka Al-Hummarah datang dan mengepakkan kedua sayapnya sambil
berkeliling seperti mau turun. Maka kemudian datanglah
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan bertanya: “Siapa yang telah
mengambil anak-anak burung ini? Kembalikan anak-anaknya kepadanya!”.
(dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim). Dan termasuk atsar-atsar dalam perkara kelembutan terhadap
hewan, adalah yang diriwayatkan oleh Musayyib bin Daarim, berkata beliau Rahimahullahu
Ta'ala: Aku melihat ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu
memukul seorang pemilik unta dan berkata: “kenapa engkau bebankan kepada
tungganganmu apa-apa yang dia tidak mampu?”. (dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad). Dan
pernah juga ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu melihat
seorang pemuda yang sedang mengasah pisaunya sambil mengambil kambingnya untuk
disembelih. Maka ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu memukul
pemuda itu dengan tongkat dan berkata: “Apakah engkau ingin menyiksa
jiwanya?!, Tidakkah engkau melakukan ini (yakni mengasah pisaunya) sebelum
mengambil kambingnya?”.
Dan pernah juga ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu
Ta’ala ‘anhu melihat seorang pemuda yang menyeret-nyeret kambingnya untuk
disembelih, maka dipukullah pemuda itu dengan kayu dan berkata: “La umma
Laka!*, antarkan kambing itu menuju kematian dengan cara yang baik!”.
*)La umma Laka= ungkapan yang biasa
dilontarkan orang arab ketika kesal atau marah.
Dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma
melihat seorang pengembala kambing sedang mengembalakan kambingnya di tempat
yang kotor, sementara beliau melihat ada tempat yang lebih baik di dekatnya.
Maka berkata Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma kepada pengembala
tadi: “Celaka engkau wahai pengembala! Pindahkanlah, sungguh aku mendengar
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Setiap pemimpin akan ditanya
tentang keadaan yang dipimpinnya”. Dan berkata Ibrahim bin Sa’id: Aku pernah mendatangi Shaleh bin
Kaesan di tempatnya, dan dia sedang memberi makan kucingnya, juga kepada
burung-burungnya. Dan Abu Ishaq Asy-Syaerazy melewati suatu jalan bersama sebagian
teman-temannya, kemudian muncul seekor anjing, dan teman-temannya menggebah
anjing tersebut. Maka AsySyaikh Asy-Syaerazy melarangnya dan berkata: “Tidak
tahukan engkau bahwa di jalan ini, berserikat (mempunyai hak yang sama) antara
kita dan mereka (yakni anjing yang digebah tadi)?!”. Dan begitu banyak yang datang dari nash-nash dan atsar tentang
haq-haq hewan, juga banyak dari perkataan para ulama dalam masalah ini. Dan
kerasnya pengingkaran mereka terhadap orang-orang yang meremehkan dan
menganggap ringan perkara haq-haq tersebut. Diantara para ulama tersebut,
antara lain Ibnu Muflih AlHanbaly Rahimahullahu Ta’ala, yang membuat
suatu bahasan dalam kitabnya “Al-Adab
AsySyari’ah” dengan judul: “Makruhnya
memperlama berdirinya hewan tunggangan yang dibebani berlebihan dari hajat yang
diperlukan”. Kemudian beliau mendatangkan perkataan Al-Imam Al-Khathaby (salah
satu gurunya Ibnu Hajr al-Atsqalani): “Adalah sebagian ulama mensunnahkan agar seorang
penunggang hewan tunggangan untuk tidak makan terlebih dahulu ketika ia turun
dari tunggangannya di suatu tempat, sampai ia memberi makan dahulu hewan
tunggangannya”. Dan sebagian dari mereka ber-syair seperti makna di bawah
ini:
حق المطية أن تبدأ بحاجتها لا أطعم الضيف حتى أعلف الفرس
Haq tunggangan yaitu dengan engkau
mendahulukan hajat mereka dan aku tidak akan memberi makan tamuku sebelum
memberi makan kuda tungganganku Dan
berkata al-Mundziry dalam Targhiib wa Tarhiib memperingatkan dari mencincang
hewan,dan dari membunuh hewan tanpa tujuan untuk dimakan, dan membawakan
perkara-perkara yang menyinggung tentang perintah yang datang (dari Rasulullah)
untuk membunuh dan menyembelih dengan baik. Kemudian beliau mendatangkan nash-nash
yang berkaitan tentang itu. Dan
ditanya Al-Imam Al-Qaabisy (termasuk salah seorang dari ulama-ulama bermadzhab
Malikiah): tentang seorang pemuda yang bermaksud menyembelih kambing hutan,
maka ia memulainya dari tempat tumbuhnya rambut diantara dagu, kemudian ia
menguliti dari tempat tersebut (sebelum menyembelihnya), maka Al-Imam Rahimahullahu
menjawab: “Bahwasanya wajib atas yang melakukan hal tersebut untuk beradab
dan memiliki rasa kasihan.” (setelah beliau terlebih dahulu melarang dari
perbuatan tersebut). Dan berkata al-Mar’ie al-Hanbaly Rahimahullahu Ta’ala:
“Wajib bagi pemilik hewan tunggangan untuk memberi makan dan minum, jika
menahan diri dari memberi makan maka dipaksa. Dan jika si pemilik hewan itu
enggan atau sudah lemah untuk memberi makan, maka ia dipaksa untuk menjualnya
atau menyewakannya atau menyembelihnya untuk dimakan. Dan diharamkan dari
melaknat hewan, dari membebaninya dengan beban-beban yang berat, dari memerah
susunya sampai memudaratkan anak hewan tersebut, dari memukul di bagian wajah
dan meracuninya dan juga dari menyembelihnya dengan tujuan bukan untuk dimakan.”Dan
disebutkan oleh sebagian para ahli fiqh: Bahwasanya jika ada kucing yang buta
berteduh di rumah kita, maka wajib atas kita untuk memberi makan kepadanya, dikarenakan
ia memang tidak bisa beranjak dari tempatnya. Dan berkata
Ibnu Subky tentang ahlul bariid (bariid=
hewan yang biasa dimamfa’atkan saat musim dingin): “Dan wajib atas setiap
bariidy (ahlul bariid) untuk tidak memaksa kuda-kudanya, yakni dengan
beban-beban yang berat. Bahkan yang benar,
adalah ia membawanya dengan sekedar kemampuan kudanya tersebut. Sungguh sangat
banyak orang memperlakukan kuda-kudanya dengan cara yang sangat menakutkan”. Dan
telah disebutkan dalam kitab-kitab sejarah bahwasanya kehadiran islam, di
sertai dengan muncul wakaf-wakaf, khususnya wakaf untuk rumah sakit hewan, juga
wakaf-wakaf yang dijadikan tempat untuk merawat hewan-hewan yang lemah. Maka kita minta kepada Allah Ta’ala untuk mengagungkan islam dan
kaum muslimin, serta merendahkan kesyirikan dan kaum musyrikin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi, Daqiqi al-Ied,
al-Sa’di , al-Utsaimin, al-Durrah al-Salafiyah Syarah al- Arba’in al-
Nawawi, Cairo: Markaz Fajr,
--
Muflih, Ibnu al-Adab al-Syar’iyyah, --
Widiyanti, Ninik, YW. Sunindia, Kepemimpinan Dalam
Masyarakat Modern, Jakarta: Bina Aksara, 1988
Aqil
Munawwar, Said Al-Qur`an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002
Qulyubi,
Shihabuddin, Stilistika Al-Qur`an, Titan Ilahi Perrs yogyakarta cetakan 1
November 1997
Ahmad Ash
Showy (et.al) Mukjizat Al-Qur`an dan
As-Sunnah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999
No comments:
Post a Comment