Sunday, November 4, 2012

Hadits Tentang Mu’amalah

1.      Pengertian Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum dalam islam

2.      Pengertian Mu’amalah

Kata “muamalah” dalam etimologi bahasa Arab diambil dari kata (العمل) yang merupakan kata umum untuk semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. Kata “muamalah” dengan wazan (مُفَاعَلَة) dari kata (عامل) yang bermakna bergaul (التَّعَامُل).
Adapun dalam terminologi ahli fikih dan ulama syariat, kata “muamalah” digunakan untuk sesuatu di luar ibadah, sehingga “muamalah” membahas hak-hak makhluk  dan“ibadah” membahas hak-hak Allah. Namun, mereka berselisih pendapat dalam apa saja yang masuk dalam kategori muamalah tersebut dalam dua pendapat:
1. Muamalah adalah pertukaran harta dan yang berhubungan dengannya, seperti al-bai’ (jual-beli), as-salam, al-ijaarah (sewa-menyewa), syarikat (perkongsian), ar-rahn (gadai), al-kafaalah, al-wakalah (perwakilan), dan sejenisnya. Inilah Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah.
2. Muamalah mencakup semua hal yang berhubungan dengan maslahat manusia dengan selainnya, seperti perpindahan hak pemilikan dengan pembayaran atau tidak (gratis) dan dengan transaksi pembebasan budak, kemanfaatan, dan hubungan pasutri. Dengan demikian, muamalah mencakup fikih pernikahan, peradilan, amanah, dan warisan. Inilah mazhab al-Hanafiyah dan pendapat asy-Syathibi dari mazhab al-Malikiyah.
Oleh karena itu sebagian Fuqaha (ahli fikih) membagi fikih menjadi empat kategori:
a.Fikih Ibadah
b.Fikih Muamalah
c.Fikih Munakahat (nikah)
d.Hukum-hukum kriminal dan peradilan.
Dari semua penjelasan diatas tujuannya agar  kita dapat memahami tema yang akan menjadi pokok pada penulisan makalah ini, yaitu tentang hadits yang berkaitan—baik secara ekplisit maupun implisit— amar ma’ruf nahi munkar dan etos kerja dalam islam.


A.    PEMBAHASAN

1.     Hadits Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ  [رواه مسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Sa’id Al-Khudri R.A berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu, maka rubahlah dengan lisannya, apabila tidak mampu (juga) maka (tolaklah) dengan hati dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (HR.Muslim No.49)
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1.     Menentang pelaku kebatilan dan menolak kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan kekuatannya.
2.     Ridho terhadap kemaksiatan termasuk diantara dosa-dosa besar.
3.     Sabar menanggung kesulitan dan amar ma’ruf nahi munkar.
4.     Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan.
5.     Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.
Berikut  adalah pendapat ( fiqh-hadits) para ulama’ dari hadits diatas :
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)                                                                                                    Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
  1. Mengingkari dengan tangan.
  2. Mengingkari dengan lisan.
  3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.                                                                                                                               Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.                                                                                                                                                 Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)                  Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.                                                                                  Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.               Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
قال رجل لعبد الله بن مسعود -رضي الله عنه- : هلك من لم يأمر بالمعروف ولم ينه عن المنكر. فقال عبد الله: بل هلك من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)                                                                                                                                                                         Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
  من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)                        Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
Pertama: Mempertimbangkan antara maslahat (kebaikan) dan mafsadah (keburukan)                                  Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan yang haram.                                         Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku kemungkaran dan mengutuknya.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4)              Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
  1. Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
  2. Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
  3. Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
  4. Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Kedua : Karakteristikorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar
            Sekalipun amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk itu sesuai dengan maratib (tingkatan-tingkatan) di atas, akan tetapi oramg yang melakukan ini,adalah termasuk orang yang memenuhi kriteria berikut ini :
1.      Berilmu ( mengetahui agama secara integral)
2.      Lemah lembut dan penyantun
3.      Sabar
Ketiga : Syarat perbuatan yang wajib diingkari
1.      Perbuatan tersebut benar suatu kemunkaran, kecil atau besar
2.      Kemunkaran tersbut masih ada
3.      Kemunkaran tersebut nyata tanpa dimata-matai
4.      Kemungkarantersebut suatu yang telah disepakati
Pada tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya. (Lihat, ibid, dan Syarh Arba’in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal: 255)
2.      Hadits Yang Berkaitan Tentang Etos Kerja ( kesinergisan)
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تعالى عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا، فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ، ثُمَّ خَرَجَ، فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ، يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ بِى!، فَنَزَلَ الْبِئْر، َفَمَلأ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ، ثُمَّ رقَى فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ قَالَ: نَعَمْ، فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: Dahulu ada seorang pemuda yang sedang dalam perjalanan ditimpa kehausan yang sangat, kemudian ia mendapati sebuah sumur maka turunlah ia kedalamnya dan minum. Kemudian ia keluar dari sumur tersebut, dan didapatinya ada seekor anjing yang sedang menjilat-jilat tanah dikarenakan kehausan. Berkata pemuda itu: “sungguh anjing ini mengalami kehausan sebagaimana yang telah aku alami!”, maka turunlah ia kembali ke dalam sumur dan memenuhi sepatu khufnya dengan air, dan digigitnya* sepatu itu kemudian ia naik kembali dan meminumkan air itu ke anjing tadi. Maka Allah Ta’ala bersyukur kepada pemuda itu dan mengampuni dosa-dosanya. Mereka (yakni para shahabat) berkata: “Ya Rasulullah, apakah dalam muamalah dengan hewan tunggangan ada pahalanya?”, Rasulullah bersabda: “benar, muamalah dengan setiap yang bernyawa ada pahalanya”. (HR.  Muttafaq ‘Alaih)
*) digigitnya= yakni dipegang dengan giginya, karena tangannya dipakai memanjat sumur.
Faidah-faidah yang bisa diambil dari hadits di atas adalah:
·         Bolehnya membawakan khabar-khabar dan kisah-kisah dalam rangka mengambil pelajaran.
  • Perkataan pemuda itu: !لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ بِى, menunjukkan bahwa mengingat-ingat kenikmatan, khususnya jika kita melihat ada orang lain yang terhalang dari nikmat tersebut, akan membantu kita untuk mensyukuri nikmat tersebut. Dan termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat tersebut adalah dengan melakukan kebaikan.
  • Dan perkataan: ثُمَّ رقَى فَسَقَى الْكَلْبَ َفَمَلأ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ, menunjukkan upaya dalam menyempurnakan amalan baik semampunya.
  • Bahwa bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat-nikmat-Nya bisa dilakukan dengan amalan (yakni amalan-amalan yang bisa mendatangkan ketha’atan) ataupun dengan ucapan (yakni tahmid, dan dzikr-dzikr lainnya).
  • Dan perkataan: فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ, menunjukkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memiliki sifat syukur, dan bagian dari asma-Nya yaitu Asy-Syakuur. Dan juga ini menunjukkan besarnya kasih sayang dan luasnya ampunan Allah Ta’ala.
  • Bahwasanya jika hewan saja memiliki hak seperti ini, apalagi dengan manusia?!
  • Tidak bolehnya meremehkan perbuatan baik walaupun sedikit.Dan perkataan: قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟, menunjukkan semangatnya para shahabat Radhiyallahu Ta’ala ‘anhum untuk mengetahui setiap jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada terhasilkannya pahala dari Allah Ta’ala.
  • Dan perkataan: فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ, menunjukkan banyaknya pintu-pintu kebaikan.
  • Bantahan atas orang-orang dari lembaga-lembaga penyayang hewan yang beranggapan bahwa islam telah menyiksa/menelantarkan hewan. Padahal sungguh agama islam telah memerintahkan untuk menunaikan haq-haq, termasuk terhadap hewan sekalipun. Dan bahkan secara global, islam telah menjadikan haq-haq yang khusus bagi hewan. Diantaranya islam menjadikan penyiksaan terhadap hewan sebagai salah satu sebab masuknya manusia ke dalam neraka, sebagaimana menjadikan perbuatan baik kepada hewan sebagai salah satu sebab masuknya manusia ke dalam surga.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah melihat keledai yang diracuni mukanya, maka bersabda beliau: “Semoga laknat Allah atas orang yang melakukan hal ini!”, kemudian beliau melarang dari perbuatan kay di wajah dan memukul di bagian wajah (dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban, yang asalnya dari Imam Muslim).
Dan juga telah jelas dalam permasalahan haq-haq hewan ini, sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam:Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) dalam segala hal. Maka jika engkau membunuh, bunuhlah secara ihsan. Dan jika menyembelih, maka sembelihlah dengan ihsan, dan hendaknya salah seorang dari kalian menajamkan pisau-pisaunya dan menyenangkan hewan sesembelihannya”. ( HR. al-Jama’ah, kecuali Imam Bukhari).                                                                     Dan bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Jika kalian safar saat musim subur (dimana banyak tumbuhan dan air) maka berikanlah untuk unta-unta kalian bagian dari bumi (yakni memberikan tunggangan kesempatan untuk makan dan istirahat). Dan jika kalian safar saat musim panas, maka hendaklah kalian percepat perjalanan kalian (yakni tidak dilambat-lambatkan, sehingga akan memberatkan tunggangan)”. (HR. al-Bazaar dan Baihaqy)                                                                                       Dan dari ‘Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memasuki salah satu kebun dari kebun-kebun kepunyaan kaum anshar untuk suatu keperluan, kemudian beliau melihat seekor unta. Ketika unta itu melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, maka mendekatlah unta tersebut dan merendahkan tubuhnya di hadapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan bercucuran air matanya. Maka bertanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Siapa pemilik unta ini?”, maka datanglah seorang pemuda dari kaum anshar. Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Tidakkah kamu bertaqwa kepada Allah?! Di dalam muamalah kamu dengan tungganganmu ini yang Allah Ta’ala telah menguasakannya kepadamu? Sungguh dia telah mengeluh kepadaku bahwa engkau telah membuatnya kelelahan dan kelaparan”. ( HR, Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim).                              Dan dari Mu’awiyyah bin Qurrat, dari bapaknya Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Berkata seorang pemuda: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyembelih kambing dan aku menyayanginya”. Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Dan kambing, jika engkau menyayanginya, maka Allah Ta’ala akan menyayangimu.“ (dikeluarkan oleh Imam Bukhary - dalam AlAdab AlMufrad – dan Al-Hakim).                                                                                                                                                                 Dan dari Abi Umamah Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Barang siapa menyayangi walaupun terhadap sembelihan seekor burung ushfuur (burung kecil berwarna kuning), maka Allah Ta’ala akan menyayanginya di hari kiamat kelak.“ (dikeluarkan oleh Imam Bukhary - dalam AlAdab AlMufrad – dan Thabraniy).                                                                              Dan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: Adalah kami bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam keadaan safar. Ketika kami bergegas karena suatu keperluan, kami melihat Al-Hummarah (burung kecil berwarna merah) bersama kedua anaknya, kemudian kami mengambil kedua anak burung tersebut, maka Al-Hummarah datang dan mengepakkan kedua sayapnya sambil berkeliling seperti mau turun. Maka kemudian datanglah Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan bertanya: “Siapa yang telah mengambil anak-anak burung ini? Kembalikan anak-anaknya kepadanya!”. (dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim). Dan termasuk atsar-atsar dalam perkara kelembutan terhadap hewan, adalah yang diriwayatkan oleh Musayyib bin Daarim, berkata beliau Rahimahullahu Ta'ala: Aku melihat ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu memukul seorang pemilik unta dan berkata: “kenapa engkau bebankan kepada tungganganmu apa-apa yang dia tidak mampu?”. (dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad).                                                                                                  Dan pernah juga ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu melihat seorang pemuda yang sedang mengasah pisaunya sambil mengambil kambingnya untuk disembelih. Maka ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu memukul pemuda itu dengan tongkat dan berkata: “Apakah engkau ingin menyiksa jiwanya?!, Tidakkah engkau melakukan ini (yakni mengasah pisaunya) sebelum mengambil kambingnya?”.
Dan pernah juga ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu melihat seorang pemuda yang menyeret-nyeret kambingnya untuk disembelih, maka dipukullah pemuda itu dengan kayu dan berkata: “La umma Laka!*, antarkan kambing itu menuju kematian dengan cara yang baik!”.
*)La umma Laka= ungkapan yang biasa dilontarkan orang arab ketika kesal atau marah.
Dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma melihat seorang pengembala kambing sedang mengembalakan kambingnya di tempat yang kotor, sementara beliau melihat ada tempat yang lebih baik di dekatnya. Maka berkata Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma kepada pengembala tadi: “Celaka engkau wahai pengembala! Pindahkanlah, sungguh aku mendengar Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Setiap pemimpin akan ditanya tentang keadaan yang dipimpinnya”.                                        Dan berkata Ibrahim bin Sa’id: Aku pernah mendatangi Shaleh bin Kaesan di tempatnya, dan dia sedang memberi makan kucingnya, juga kepada burung-burungnya. Dan Abu Ishaq Asy-Syaerazy melewati suatu jalan bersama sebagian teman-temannya, kemudian muncul seekor anjing, dan teman-temannya menggebah anjing tersebut. Maka AsySyaikh Asy-Syaerazy melarangnya dan berkata: “Tidak tahukan engkau bahwa di jalan ini, berserikat (mempunyai hak yang sama) antara kita dan mereka (yakni anjing yang digebah tadi)?!”.                                                                                                                                      Dan begitu banyak yang datang dari nash-nash dan atsar tentang haq-haq hewan, juga banyak dari perkataan para ulama dalam masalah ini. Dan kerasnya pengingkaran mereka terhadap orang-orang yang meremehkan dan menganggap ringan perkara haq-haq tersebut. Diantara para ulama tersebut, antara lain Ibnu Muflih AlHanbaly Rahimahullahu Ta’ala, yang membuat suatu bahasan dalam kitabnya “Al-Adab AsySyari’ah” dengan judul: “Makruhnya memperlama berdirinya hewan tunggangan yang dibebani berlebihan dari hajat yang diperlukan”. Kemudian beliau mendatangkan perkataan Al-Imam Al-Khathaby (salah satu gurunya Ibnu Hajr al-Atsqalani): “Adalah sebagian ulama mensunnahkan agar seorang penunggang hewan tunggangan untuk tidak makan terlebih dahulu ketika ia turun dari tunggangannya di suatu tempat, sampai ia memberi makan dahulu hewan tunggangannya”. Dan sebagian dari mereka ber-syair seperti makna di bawah ini:
حق المطية أن تبدأ بحاجتها لا أطعم الضيف حتى أعلف الفرس
Haq tunggangan yaitu dengan engkau mendahulukan hajat mereka dan aku tidak akan memberi makan tamuku sebelum memberi makan kuda tungganganku                                                                                    Dan berkata al-Mundziry dalam Targhiib wa  Tarhiib memperingatkan dari mencincang hewan,dan dari membunuh hewan tanpa tujuan untuk dimakan, dan membawakan perkara-perkara yang menyinggung tentang perintah yang datang (dari Rasulullah) untuk membunuh dan menyembelih dengan baik. Kemudian beliau mendatangkan nash-nash yang berkaitan tentang itu.                                                                          Dan ditanya Al-Imam Al-Qaabisy (termasuk salah seorang dari ulama-ulama bermadzhab Malikiah): tentang seorang pemuda yang bermaksud menyembelih kambing hutan, maka ia memulainya dari tempat tumbuhnya rambut diantara dagu, kemudian ia menguliti dari tempat tersebut (sebelum menyembelihnya), maka Al-Imam Rahimahullahu menjawab: “Bahwasanya wajib atas yang melakukan hal tersebut untuk beradab dan memiliki rasa kasihan.” (setelah beliau terlebih dahulu melarang dari perbuatan tersebut). Dan berkata al-Mar’ie al-Hanbaly Rahimahullahu Ta’ala: “Wajib bagi pemilik hewan tunggangan untuk memberi makan dan minum, jika menahan diri dari memberi makan maka dipaksa. Dan jika si pemilik hewan itu enggan atau sudah lemah untuk memberi makan, maka ia dipaksa untuk menjualnya atau menyewakannya atau menyembelihnya untuk dimakan. Dan diharamkan dari melaknat hewan, dari membebaninya dengan beban-beban yang berat, dari memerah susunya sampai memudaratkan anak hewan tersebut, dari memukul di bagian wajah dan meracuninya dan juga dari menyembelihnya dengan tujuan bukan untuk dimakan.”Dan disebutkan oleh sebagian para ahli fiqh: Bahwasanya jika ada kucing yang buta berteduh di rumah kita, maka wajib atas kita untuk memberi makan kepadanya, dikarenakan ia memang tidak bisa beranjak dari tempatnya.                                                   Dan berkata Ibnu Subky tentang ahlul bariid (bariid= hewan yang biasa dimamfa’atkan saat musim dingin): “Dan wajib atas setiap bariidy (ahlul bariid) untuk tidak memaksa kuda-kudanya, yakni dengan beban-beban yang berat. Bahkan yang benar, adalah ia membawanya dengan sekedar kemampuan kudanya tersebut. Sungguh sangat banyak orang memperlakukan kuda-kudanya dengan cara yang sangat menakutkan”.                                                                                                                                                   Dan telah disebutkan dalam kitab-kitab sejarah bahwasanya kehadiran islam, di sertai dengan muncul wakaf-wakaf, khususnya wakaf untuk rumah sakit hewan, juga wakaf-wakaf yang dijadikan tempat untuk merawat hewan-hewan yang lemah. Maka kita minta kepada Allah Ta’ala untuk mengagungkan islam dan kaum muslimin, serta merendahkan kesyirikan dan kaum musyrikin.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Nawawi, Daqiqi al-Ied, al-Sa’di , al-Utsaimin, al-Durrah al-Salafiyah Syarah al- Arba’in al- Nawawi, Cairo: Markaz Fajr, -- 
Muflih, Ibnu  al-Adab al-Syar’iyyah, --
Widiyanti, Ninik, YW. Sunindia, Kepemimpinan Dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Bina Aksara, 1988
Aqil Munawwar, Said Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002
Qulyubi, Shihabuddin, Stilistika Al-Qur`an, Titan Ilahi Perrs yogyakarta cetakan 1 November 1997
Ahmad Ash Showy (et.al) Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunnah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999

No comments:

Post a Comment