Proses
Penulisan Al-Qur’an pada Masa Nabi
Kerinduan
nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan,
tetapi juga dalam bentuk tulisan. Tiap-tiap nabi menerima ayat-ayat yang
diturunkan, nabi lalu membacanya dihadapan sahabat serta menyuruh para kuttab
(penulis wahyu) menulisnya. Nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus
bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin
Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, dan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa nabi sangat sederhana. Para sahabat
menggunakan alat tulis sederhana seperti pada kepingan-kepingan tulang,
pelepah-pelepah kurma, batu-batu, dan lontaran kayu.
Kegiatan
dalam menulis Al-Qur’an pada masa nabi di samping dilakukan oleh para
sekretaris nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. Kegiatannya itu
didasarkan kepada sebuah hadits nabi, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh
Muslim yang artinya:
“janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku,
kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an,
hendaklah ia menghapusnya.”(H.R
Muslim)
Setiap telah cukup se-surat turunnya, nabi memberi nama
kepada surat itu, sebagai tanda yang membedakan surat itu dengan surat yang
lain. Nabi suruh letakkan “basmalah” di permulaan surat yang baru atau di akhir
surat yang terdahulu letaknya. Demikian pula di tiap-tiap turun ayat, nabi
terangkan tempat meletakkan ayat-ayat itu. Sedemikianlah nabi perbuat sehingga
sempurnalah Al Qur’an itu diturunkan dalam tempo kurang lebih 23 tahun (22
tahun 2 bulan 22 hari).
Di
antara faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa nabi adalah:
- Mem-back
up hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
- Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling
sempurna, karena bertolak dari hapalan para sahabat saja tidak cukup
karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun
tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa nabi, Al-Qur’an tidak
ditulis ditempat tertentu.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa karakteristik
penulisan Al-Qur’an pada masa nabi adalah tidak ditulis pada satu tempat saja,
melainkan pada tempat yang terpisah-pisah. Hal ini tampaknya
bertolak dari dua alasan berikut:
- Proses
penurunan Al-Qur’an masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang
turun belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah
turun terdahulu.
- Menertibkan ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak
bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara
satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara satu surat dengan surat yang
lain. Oleh karena itu, terkadang ayat atau surat yang turun belakangan
ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu.
Penulisan/penghimpunan Al-Qur’an
pada Periode Khalifah Abu Bakar
Setelah
Nabi SAW wafat dan Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, terjadilah gerakan Musailimah
al-Kadzdzab. Dia mengembangkan khurafatnya dan kebohongan-kebohongannya. Diapun
mengaku dirinya nabi dan dia dapat mempengaruhi Banu Hanifah dari penduduk
Yamamah lalu mereka menjadi murtad. Gerakan ini segera ditindak oleh Abu Bakar dengan
mengirimkan pasukan tentara di bawah pimpinan Khalid bin al-Walid yang terdiri
dari 4000 pengendara kuda, terjadilah clash
fisik di Yamamah pada tahun 12 H yang menimbulkan korban yang tidak sedikit dikalangan
pasukan islam terutama para sahabat yang gugur syahid. Di antara sahabat yang
gugur itu adalah Zaid ibnul Khattab, saudara Umar. Selain daripada itu syahid
pula 700 penghafal Al-Qur’an. Setelah umat islam mengeraskan tekanannya,
pertolongan Allah pun datang, barulah tentara Musailamah hancur dan lari. Umat
islam mengejar meraka dan mengurung tentara musuh itu dalam suatu kebun kurma.
Al Barra’ ibn Malikmenaiki tembok kebun dan menjatuhkan dirinya ke dalam
benteng, lalu membuka pintu. Setelah tentara islam dapat masuk ke dalam,
barulah Musailamah dan kawan-kawannya dapat dibunuh. Kebun tersebut dinamai
kebun mati. Orang yang membunuh Musailamah
ini juga telah membunuh Hamzah.
Peristiwa yang tragis itu mendorong Umar untuk
menyarankan kepada khalifah agar segera dipimpin ayat-ayat Al-Qur’an dalam
suhuf, karena dikhawatirkan akan kehilangan sebagaian Al-Qur’an dengan
wafatrnya sebagaian para penghafalnya. Usul Umar dapat diterima oleh Abu Bakar
setelah diadakan diskusi dan pertimbangan yang saksama. Kemudian khalifah
memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit agar segera menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an
dalam satu shuhuf.
Zaid
sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini walaupun ia seorang penulis yang
hafal Al-Qur’an. Ia berpegangan dua hal, yaitu:
1. ayat-ayat Al-Qur’an ditulis dihadapan Nabi yang di
simpan dirumah nabi.
2. ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz
Al-Qur’an.
Selain
itu juga menerima tulisan dari sahabat lain dengan dua saksi. Akhirnya dengan
kerja keras tim pengumpulan Al-Qur’an yang terdiri Abu Bakar sebagai pengawas,
Umar sebagai pengusul, Zaid sebagai pelaksana dan para sahabat sebagai pemberi
bantuan yaitu Ubay ibn Ka’ab, Ali bin
Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Mereka berulang kali mengadakan pertemuan dan
mereka mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka tuliskan di masa nabi. Maka
dengan usaha badan ini terkumpullah Al-Qur’an di dalam shuhuf dari
lembaran-lembaran kertas. Dalam pada itu, juga ada riwayat yang menerangkan,
bahwa badan tersebut menulis Al-Qur’an dalam shuhuf-shuhuf yang terdiri dari
kulit dan pelepah kurma. Inilah pengumpulan pertama.
Sahifah-sahifah (yang terdiri dari 7 huruf dan masih utuh
termasuk ayat-ayat yang belum dinasahkan bacaannya) yang telah dihimpun oleh
Zaid lalu disimpan oleh Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Hafsah binti Umar (Hafsah
adalah seorang istri nabi yang hafidz Al-Q’uran), kemudian Utsman bin Affan dan
kemudian dikembalikan lagi kepada Hafsah setelah dilakukan penyalinan oleh Utsman.
Penulisan
Al-Qur’an pada Masa Masa Utsman bin Affan
Sesudah beberapa tahun berlalu dari pemerintahan Utsman
timbullah usaha dari sahabat untuk meninjau kembali shuhuf-shuhuf yang telah
ditulis oleh Zaid bin Tsabit. Menurut riwayat Bukhari dari Anas, perbedaan cara
membaca Al-Qur’an pada waktu itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat
muslim saling menyalahkan dan selanjutnya terjadi perselisihan diantara mereka
Tata cara penulisan Al-Qur’an pada
masa khalifah Utsman bin Affan ini disebut rasm
Utsmani. Tata cara penulisan
(rasm Utsmani) itu kemudian dijadikan
standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf Al-Qur’an. Sementara,
Mushaf Utsmani yaitu mushaf yang ditulis
panitia empat (Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, dan
Abdurrahman bin al-Harits). Utsman lalu meminjam mushaf yang tersimpan di rumah Hafsah dan
memberikannya kepada panitia yang telah terbentuk.
Tugas utama panitia adalah menyalin mushaf ke dalam beberapa naskah
sambil menyeragamkan dialek yang digunakan, yaitu dialek Quraisy (Al Quraisy).
Al-Qur’an yang telah disusun dialek yang seragam itu disebut Mushaf Utsmani.
Semuanya berjumlah lima buah. Satu mushaf disimpan di Madinah, empat
mushaf lainnya dikirimkan ke Makkah,
Suriah, Basrih dan Kuffah untuk disalin dan diperbanyak. Selanjutnya khalifah
Utsman memerintahkan agar mengumpulkan semua tulisan Al-Qur’an selain Mushaf
Utsmani untuk dimusnahkan, hanya boleh menyalin dan memperbanyak tulisan
Al-Qur’an dari mushaf yang resmi, yaitu mushaf Utsmani.
Perbedaan pendapat tentang keharusan menulis Al-Qur’an dengan
menggunakan rasm utsmani dipicu oleh
perbedaan mereka dalam menyikapi status rasm Al-Qur’an. Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa rasm utsmani
bersifat tauqifi, yakni bukan produk budaya manusia sehingga wajib
diikuti oleh siapa saja yang hendak menulis Al-Qur’an. Mereka bahkan sampai
tingkat menyakralkannya. Untuk pendapat ini, mereka merujuk pada sebuah riwayat
yang memberitakan bahwa Nabi pernah berpesan pada Mu’awiyyah, salah seorang
sekertarisnya, “Letakkanlah tintamu, pegang erat pena baik-baik, luruskan huruf ba’. Bedakan huruf sin, jangan butakan huruf mim, buat bagus (tulisan) Allah, panjangkan (tulisan) ar-Rahman dan buatlah bagus
(tulisan) ar-Rahim. Lalu letakkan penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuat mu
lebih ingat.”
Mereka pun mengutip pernyataan Ibnu Al-Mubarak yang berbunyi ,“Sahabat,
juga lainnya, sama sekali tidak campur tangan dalam urusan Rasm Mushaf,
walaupun sehelai rambut. Itu adalah ketetapan Nabi. Beliaulah yang menyuruh
mereka menulisnya seperti dalam bentuknya yang dikenal dengan menambahkan alif
dan menghilangkanya lantaran rahasia yang tidak dapat dijangkau akal. Hal itu
merupakan salah satu rahasia yang khusus diberikan Allah untuk kitab suci-Nya
yang tidak diberikan untuk kitab samawi lainnya sebagaimana halnya susunan
Al-Qur’an itu mukjizat, rasm(tulisan)-nya pun mukjizat pula. berdasarkan
hadits Nabi dan pernyataan Ibnu Al-Mubarak mereka memandang bahwa rasm utsmani memiliki rahasia-rahasia
yang sekaligus memperlihatkan makna-makna yang tersembunyi. Umpamanya
penambahan huruf ya’ pada penulisan “aydin” pada surat (Adz-Dzariyat :47)
Mengomentari pendapat di atas. Al-Qathan berpendapat bahwa tidak ada
satu riwayat pun dari Nabi yang dapat dijadikan alasan untuk menjadikan rasm utsmani sebagai tauqifi. Rasm Utsmani murni merupakan kreativitas
empat panitia atas persetujuan Utsman sendiri. Yang dijadikan pedoman cara
penulisan yang digunakan panitia itu adalah pesan Utsman kepada tiga orang di
antara panitia yang berasal dari suku Quraisy. Pesan itu berbunyi, “jika kalian
berbeda pendapat (ketika menulis mushaf dengan Zaid bin Tsabit, tulislah dengan
lisan Quraisy, karena dengan lisan itulah Al-Qur’an turun’’), ketika empat
panitia itu terjadi perbedaan pendapat tenteng tata cara penulisan kata
“at-tabut” Zaid menulisnya “at-tabuh”, sedangkan tiga orang lainya menullis
“at-tabut”. Setelah persoalan itu diadukan kepada Utsman, ia berkata ,“
Tulislah “at-tabut” karena dengan lisan Quraisylah Al-Qur’an turun.
Bantahan serupa dikemukakan Subhi Shalih. Ia mengatakan ketidaklogisan
rasm Utsmani
disebut-sebut tauqifi. Masalahnya berbeda sekali dengan huruf tahajji seperti, alif lam mim, alif lam ra yang terdapat
diawal beberapa surat karena huruf tahajji itu status Qur’annya mutawatir, akan
tetapi istilah rasm utsmani baru
lahir pada masa pemerintahan. Utsmanlah sesungguhnya yang menyetujui penggunaan
istilah itu, bukan Nabi. Utsman bin Affan.
Penyempurnaan penulisan Al-Qur’an setelah masa Khalifah
Mushaf
yang ditulis atas perintah usman tidak memiliki harakat dan tanda titik
sehingga dapat dibaca dengan salah Satu qira’at yang tujuh. Ssetelah banyak
orang non arab memeluk islam mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak
berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah abdul malik penyempurnaan mulai
segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa yaitu Ubaidillah Bin Ziad
dan Hajaj Bin Yusuf Ats-Tsaqafi . Upaya
penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus tetapi bertahap dan dilakukan
oleh setiap generasi sampao abad 3 Hijryah atau 9 Masehi. Ketika proses
penyempurnaan telah selesai tercatat tiga orang yang pertama kali meletakkan
tanda titik pada mushaf usmani yaitu Abu Al-Aswad Ad-da’ulli, Yahya Bin Ya’mar
dan Nasr Bin ‘Ahim Al-Laits. Adapun oraang pertama yang meletakkan hamzah,
tasdid Al-Rum, Al-Isymam adalah Al-Kholil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang
diberi kunyah Abu ‘Abdirrahman.
Penerbitan Al-Qur’an dengan label
islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya
‘utsman dan mushaf cetakan itu lahir si saint-peters burg,usia, atau lenin
grat, uni soviet sekarang. Lahir lagi kemudiaan, mushaf cetakan kazan. Kemudian
terbitlagi di Iran tahun 1248 H/1828 M. Negri Persia menerbitkan mushaf cetakan
di kota Teheran. 5 tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf di
tabris. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian terbit lagi
cetakan di Lipzig, Jerman.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, mssjfuk ,pengantar ulumul quran ,Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1993
Anwar rosihon dr,m.Ag,Pengantar ulumul qur’an,2009
Ash-Shiddieqy Muhammad Hasbi,Sejarah dan Pengantar
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1953
No comments:
Post a Comment